RSS

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIPOSPADIA DAN EPISPADIA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Epispadia merupakan kelainan yang terjadi pada satu dalam 30.000 kelahiran hidup. Pada kondisi ini atap penis tidak ada sehingga uretra merupakan saluran yang terbuka. Dalam bentuk yang paling berat dinding abdomen bagian bawah dan tulang pubis merupakan celah dari umbilicus sampai perineum, dan kandung kemih bagian anterior terbuka (ekstrofi dari kandung kemih). Pada bentuk ini baik laki-laki dan perempuan dapat terkena, tetapi lebih sering terjadi pada laki-laki.
Di Amerika Serikat, hipospadia diperkirakan terjadi sekali dalam kehidupan dari 350 bayi laki-laki yang dilahirkan . Angka kejadian ini sangat berbeda tergantung dari etnik dan geogafis. Di Kolumbia 1 dari 225 kelahiran bayi laki-laki, Belakangan ini di beberapa negara terjadi peningkatan angka kejadian hipospadia seperti di daerah Atlanta meningkat 3 sampai 5 kali lipat dari 1,1 per 1000 kelahiran pada tahun 1990 sampai tahun 1993. Banyak penulis melaporkan angka kejadian hipospadia yang bervariasi berkisar antara 1 : 350 per kelahiran laki-laki. Bila ini kita asumsikan ke negara Indonesia karena Indonesia belum mempunyai data pasti berapa jumlah penderita hipospadia dan berapa angka kejadian hipospadia. Maka berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2000 menurut kelompok umur dan jenis kelamin usia 0 – 4 tahun yaitu 10.295.701 anak yang menderita hipospadia sekitar 29 ribu anak yang memerlukan penanganan repair hipospadia.

1.2 Tujuan
• Tujuan Umum : Untuk memenuhi tugas keperawatan anak yang telah di berikan.
• Tujuan Khusus : Mempelajari tentang pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan penanganan pada epispadia dan hipospadia. Mempelajari askep tentang epispadia dan hipospadia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu meatus uretra terletak permukaan dorsal penis. (Sylvia A. Price, edisi 2, 2005).
Epispadia adalah orifisium meatus uretra terletak pada permukaan dorsal penis. (Donna L Wong, 2009).
Hipospadia merupakan anomali penis yang tersering terdapat pada 1-3,3/1000 kelahiran hidup dan diakibatkan kegagalan atau hambatan fusi garis tengah dari lipatan-lipatan uretra. (Nelson, hal. 166).
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan dimana meatus urtera eksternus terletak dipermukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal pada ujung galns penis. (Ilmu Bedah FKUI, hal. 428).
Hipospadia adalah lubang uretra yang terletak di belakang glans penis atau di tempat lain, di sepanjang permukaan ventralis korpus penis. (Donna L Wong, hal. 1184).
Hipospadia adalah suatu anomali perkembangan dimana letak meatus uretra lebih rendah dari pada letak normal. Pada bayi laki-laki meatus terbuka digaris tengah bawah permukaan penis atau pada perineum. Pada wanita meatus terbuka kedalam vagina. Epispadia yang juga terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi terutama pada laki-laki, merupakan kelainan kongenital dimana dinding uretra bagian atas tidak ada. (Bobak, hal. 923).

2.2 Etiologi
Kelainan pada hipospadi ini disebabkan oleh maskulinisasi yang inkomplit dari genitalia karena involusi yang prematur dari sel interstital dari testis.
2.3 Patofisiologi
Hipospadia terjadi pada 1 dalam 300 kelahiran anak laki-laki dan merupakan anomali penis yang paling sering. Perkembangan uretra in uretro dimulai sekitar usia 8 minggu dan selesai dalam 15 minggu. Uretra terbentuk dari penyatuan lipatan uretra sepanjang permukaan ventral penis. Glandula uretra terbentuk dari kanalisai funikulus ektoderm yang tumbuh melalui glands untuk menyatu dengan lipatan uretra yang menyatu. Hipospadia terjadi bila penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis. Ada berbagai derajat kelainan letak ini seperti pada glandular (letak meatus yang salah pada glands), korona (pada sulkus korona), penis (di sepanjang batang penis), penoskrotal (pada pertemuan ventral penis dan skotum), dan perineal (pada perineum). Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutupi sisi dorsal glans. Pita jaringa fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
Tidak ada masalah fisik yang berhubungan dengan hipospadia pada bayi baru lahir atau pada anak – anak remaja. Penanganan hipospadia dengan chordee dan restrukturisasi lubang meatus melalui pembedahan. Pembedahan harus dilakukan sebelum usia saat belajar untuk menahan berkemih, yaitu sekitar usia 2 tahun. Prepusium dipakai untuk proses rekonstruksi, oleh karena itu bayi dengan hipospadia tidak boleh disirkumsisi. Chordee dapat juga terjadi pada hipospadia, dan diatasi dengan melepaskan jaringan fibrosa untuk memperbaiki fungsi dan penampilan penis.
Epispadia adalah suatu anomali kongenital yaitu meatus uretra terletak pada permukaan dorsal penis. Insiden epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam 120.000 laki-laki. Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi juga disertai anomali saluran kemih. Epispadia diklasifikasikan berdasarkan letak meatus kemih disepanjang batang penis: glandular (pada glans bagian dorsal), penis (antara simfisis pubis dan sulkus koronarius), dan penopubis (pada permulaan antara penis dan pubis). Meatus uretra meluas, dan perluasan alur dorsal dari meatus terletak dibawah glans. Prepusium menggantung dari sisi ventral penis. Penis pipih dan kecil dan mungkin akan melengkung ke dorsal akibat adanya chordee. Inkontinensia urine timbul pada epispadia penopubis (95%) dan penis (75%) karena perkembangan yang salah dari spingter urinarius. Perbaikan dengan pembedahan dilakukan untuk memperbaiki inkontinensia, membuang chordee, dan memperluas uretra ke glans. Prepusium digunakan dalam proses rekonstruksi, sehingga bayi baru lahir dengan epispadia tidak boleh di sirkumsisi. (Sylvia A. Price, hal. 1317).

2.4 Manifestasi Klinis
Kondisi hipospadia mudah dikenal saat lahir. Aliran urin dapat membengkok kearah bawah atau menyebar dan mengalir kembali sepanjang batang penis. Anak dengan hipospadia penoskretal atau perincal berkemih dalam posisi duduk. Pada hipospadia glandurel atau koronal anak mampu untuk berkemih berdiri, dengan sedikit mengangkat penis keatas. Untuk epispadia, lubang uretra terdapat di punggung penis, lubang uretra terdapat di sepanjang punggung penis.

2.5 Penanganan
Meskipun pada kepustakaan disebutkan ada lebih dari teknik operasi untuk hipospadi tapi yang paling populer adalah teknik dari Thiersch Duplay (Byars), Dennis Brown, Cecil Culp, dll.
Pada semua teknik operasi tersebut pada tahap pertama dilakukan eksisi dari chordee. Penutupan luka operasi dilakukan dengan menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis. Tahap pertama ini dilakukan pada usia 1 ½ - 2 tahun bila ukuran penis sesuai usianya. Setelah eksisi chordee maka penis akan menjadi lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Pada tahap kedua akan dilakukan uteroplasti yang dikerjakan setelah tahap pertama.
Pada hampir semua perbaikan preputium diperlukan sumber kulit ekstra. Karena itu tidak dilakukan sirkumsisi pada neonatus.
1. Koreksi bedah, ini harus dilakukan sebelum anak mulai sekolah untuk menghindarkan masalah sosial dan emosional. Tujuan dari terapi adalah membentuk penyesuaian dan panjang uretra adekuat, membuka pada ujung dari glans; untuk memberikan orifisum yang tidak tersumbat yang diarahkan kedepan untuk mencegah penyebaran dan memberikan penis yang cukup lurus untuk memungkinkan hubungan seksual. Koreksi dari demormitas biasanya dalam dua stadium. Pembedahan pertama dilakukan jika anak berumur tiga tahun untuk mengkoreksi korde. Dengan tujuan melurusakan penis dan menyiapkan jalan untuk uretroplasti. Operasi kedua dilakukan beberapa bulan kemudian untuk membawa orifisium sedekat mungkin pada ujung glans. Ini memerlukan diversi dari aliran urin, biasanya melalui uretrostomi foley kateterdiinsersikan kedalam kandungan kemih. Hal ini memungkinkan penyembuhan luka. Kulit penis dibalik kedalam untuk membentuk tuba urinarius yang baru.
2. Persiapan bedah.
3. Penatalaksanaan pasca bedah :
a. Anak harus dalam tirah baring hingga kateter diangkat. Harus berhati-nati agar anak tidak menaik kateter. Kemungkinan diperlukan penahan terapi sedapat mungkin hal ini dihindarkan.
b. Baik luka penis dan tempat luka donor dijaga tetap bersih dan kering. Swab harus diambil jika dicurigai adanya infeksi.
c. Perawatan kateter.
d. Pemeriksaan urin untuk memeriksa kandungan bekteri.
e. Masukkan cairan yang adekuat untuk mempertahankan aliran ginjal dan mengencerkan toksin.
f. Pengankatan jahitan kulit setelah 5 sampai 7 hari.
g. Anak dipulangkan segera setelah kateter diangkat dan dapat berkemih secara memuaskan. Orang tua diberi saran mengenai setiap masalah yang menyangkut luka atau jika anak mempunyai kesulitan untuk mengeluarkan urin.

Penatalaksanaan anak utuk pembedahan stadiun kedua hampir sama seperti untuk stadium pertama.
1. Pada beberapa unit kateter diinsersikan kedalam kandung kemih apakah melalui uretrostomi sementara yang dibuat dalam perineum atau dengan katerisasi suprapublik. Hal ini memungkinkan penyembuhan dari uretra yang baru dibentuk. Kateter diangkat pada hari kesepuluh dan sinus menutup secara spontan dalam 3 sampai 4 hari.
2. Diperlukan perawatan keteter.
3. Pembalut karet busa atau katun yang ringan perlu dikenakan pada penis. Ini harus dibiarkan tidak terganggu kecuali jika terdapat lembab yang berlebihan pada daerah ini menunjukkan adanya hematoma. Edema pada glans penis dan terutama pada preputium sering terjadi tetapi hilang dalam beberapa hari.
4. Observasi aliranurin penting dilakukan ketika anak mulai mengeluarkan urin melalui uretra yang baru dibentuk. Jika anak mengalami kesukaran maka mandi hangat dapat diminta untuk berkemih dalam bak. Ini seringkali membantu memulihkan kepercayaandiri dan kemampuannya untuk mengeluarkan urin dan umumnya tidak terdapat kesukaran lanjutan untuk berkemih.
5. Observasi komplikasi dapat terjadi sumbatan terhadap kateter. Hal ini dapat dihindari dengan perawatan kateter setiap 4 jam dan memasukkan suatu antiseptik urinarius seperti ko-trimoksazol. Jika terjadi hematoma, anak perlu kembali keruang bedah untuk evakuasi hematoma. Kemingkinan juga terjadi kerusakan dari perbaikan uretra yang menimbulkan suatu fistula. Pada kasus ini urin akan dikeluarkanmelalui apertura yang abnormal dan diperlukan perbaikan lebih lanjut empat sampai enam bulan berikutnya. Juga dapat terjadi penyempitan dari apertura meatus yang baru dan stktura uratra. Ini memerlukan dilatasi periodik secara berkala.
6. Dukungan dan bimbingan bagi orang tua sangat penting. Kondisi ini akan dibahas secara penuh dengan mereka tetapi mereka masih memerlukan jaminan dan informasi setelah dilakukan koreksi. Karena anak masih muda, maka dianjurkan agar orang tua tetap tinggal bersamamereka dan diberikan dorongan untuk berpartisipasi dalam perawatan.

Perbaikan dari epispadia serupa dengan apa yang diuraikan untuk hipospadia. Jika kandung kemih mengalami ekstrofi, terdapat dua metode pembedahan :
1. Diversi urin kedalam suatu ansa ileum (Konduit ileal). Mukosa kandung kemih diangkat dan otot kandung kemih dijabit.
2. Dinding kandung kemih dimobilisasi dan ditutup, setelah membebaskan tulang ileum dan pubis untuk mempersempit pembukaan. Didinng abdomen kemudian diperbaiki. Suatu kateter ditinggalkan secara suprapubis untuk drainase. Kontinensi urinarius sukar untuk dicapai dan karena itu pengalihan urinarius lebih sering dilakukan.

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Biodata
• Identitas bayi
• Jenis kelamin laki-laki.
2. Fisik
• Pemeriksaan genetalia
• Palpasi abdomen untuk melihat distensi bladder atau pembesaran pada ginjal.
• Kaji fungsi perkemihan
• Adanya lekukan pada ujung penis
• Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
• Terbukanya urethral pada ventral (hipospadia) atau dorsal (epispadia)
• Pengkajian setelah pembedahan, pembengkakan penis, perdarahan, disuria, drainage.
3. Mental
• Sikap pasien sewaktu diperiksa
• Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan
• Tingkat kecemasan
• Tingkat pengetahuan keluarga dan pasien


3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kurangnya pengetahuan orang tua b/d diagnosa, prosedur pembedahan, dan perawatan setelah operasi.
2. Nyeri b/d ansietas
3. Pola nafas tidak efektif b/d obstruksi trakeobronkial.
4. Risiko tinggi terhadap infeksi b/d munculnya zat-zat patogen/kontaminan dalam prosedur invasif.

3.3 Intervensi
1. Diagnosa keperawatan : Kurangnya pengetahuan orang tua b/d diagnosa, prosedur pembedahan, dan perawatan setelah operasi.
Kriteria Hasil : mengutarakan pemahaman tentang proses operasi dan harapan pasca operasi.
Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji tingkat pemahaman orang tua. Berikan fasilitas perencanaan program pengajaran pasca operasi.
Gunakan sumber-sumber bahan pengajaran, audiovisual sesuai keadaan. Bahan yang dibuat secara khusus akan dapat memenuhi kebutuhan pasien untuk belajar.
Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu pemberian. Penjelasan tentang obat analgesik, selang dan jalur IV dan kateter.
Ajarkan orang tua untuk partisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi. Meningkatkan pemahaman/kontrol pasien dan memungkinkan partisipasi dalam perawatan pasca operasi.

2. Diagnosa keperawatan : Nyeri b/d ansietas
Kriteria Hasil : menunjukkan nyeri hilang.
Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji nyeri, perhatikan lokasi, karakteristik, intensitas (skala 0-10). Membantu evaluasi derajat ketidaknyamanan dan keefektifan analgesik atau menyatakan terjadinya komplikasi.
Perhatikan aliran dan karakteristik urin. Penurunan aliran menunjukkan retensi urin dengan peningkatan tekanan pada saluran perkemihan atas atau kebocoran pada ronggga peritoneal. Urin keruh mungkin normal (adanya mukus) atau mengidentifikasi adanya infeksi.
Berikan tindakan kenyamanan. Menurunkan tegangan otot, meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
Ajarkan penggunaan teknik relaksasi. Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian, dapat meningkatkan kemampuan koping, menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi (analgesik). Menghilangkan nyeri, meningkatkan kenyamanan, dan meningkatkan istirahat.

3. Diagnosa keperawatan : Pola nafas tidak efektif b/d obstruksi trakeobronkial.
Kriteria Hasil : menetapkan pola nafas yang normal/efektif dan bebas dari tanda-tanda hipoksia.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hipereksi rahang, aliran udara faringeal oral. Mencegah obstruksi jalan nafas.
Auskultasi suara nafas, dengar adanya mur-mur. Kurangnya suara nafas adalah indikasi adanya obstruksi oleh mukus dan dapat dibenahi dengan mengubah posisi atau penghisapan.
Observasi frekuensi dan kedalaman pernafasan, perluasan rongga dada, retraksi/pernafasan cuping hidung, warna kulit, dan aliran udara. Dilakukan untuk memastikan efektifitas pernafasan sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan.
Pantau TTV secara terus menerus. Meningkatnya pernafasan, takikardia, bradikardia, menunjukkan kemungkinan terjadinya hipoksia.
lakukan penghisapan lendir jika diperlukan. Obstruksi jalan nafas terjadi karena adanya darah atau mukus dalam tenggorok atau trakea.
Kolaborasi
Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan. Untuk meningkatkan pengambilan O2 yang akan diikat oleh Hb yang menggantikan tempat gas anestesi dan mendorong pengeluaran gas tersebut melalui zat-zat inhalasi.
Berikan alat bantu pernafasan (ventilator) Dilakukan tergantung penyebab depresi pernafasan atau jenis pembedahan.

4. Diagnosa keperawatan : Risiko tinggi terhadap infeksi b/d munculnya zat-zat patogen/kontaminan dalam prosedur invasif.
Kriteria Hasil : mengurangi potensial infeksi, dan pertahankan lingkungan aseptik yang aman.
Intervensi Rasional
Mandiri
Tetap pada fasilitas, kontrol infeksi, sterilisasi, dan prosedur aseptik. Tetapkan mekanisme yang dirancang untuk mencegah infeksi.
Gunakan teknik steril pada waktu pergantian kateter. Mencegah masuknya bakteri, mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Pertahankan gravitasi drain dependen dari kateter indwelling. Mencegah stasis dan refluks cairan tubuh.
Kolaborasi
Berikan antibiotik sesuai petunjuk Dapat diberikan secara profilaksis bila dicurigai terjadinya infeksi atau kontaminasi.

3.4 Implementasi
1. Memberikan penjelasan pada orang tua sebelum dan sesudah operasi tentang prosedur pembedahan dan perawatan setelah operasi.
2. Meningkatkan rasa nyaman.
3. Menormalkan pola pernafasan dari obstruksi.
4. Mencegah infeksi


3.5 Evaluasi
1. Tercipta rasa aman dan nyaman.
2. Pola pernafasan normal.
3. Tidak terjadi infeksi.
4. Input dan output seimbang.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Epispadia adalah orifisium meatus uretra terletak pada permukaan dorsal penis.
Hipospadia merupakan anomali penis yang tersering terdapat pada 1-3,3/1000 kelahiran hidup dan diakibatkan kegagalan atau hambatan fusi garis tengah dari lipatan-lipatan uretra.
Kelainan pada hipospadi ini disebabkan oleh maskulinisasi yang inkomplit dari genitalia karena involusi yang prematur dari sel interstital dari testis.
Penanganan epispadia dan hipospadia ini adalah dengan melakukan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC, 2004.
Ilmu Bedah FKUI. Jakarta: EGC.
M Sacharin, Rosa, Prinsip Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC, 1996.
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Bagian 3. Jakarta : EGC, 1999.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit, Jakarta: EGC, 1995.
Suriadi dan Yuliani,Rita.(2001). Askep Pada Anak,edisi 1. Jakarta : Fajar Interpretama.

0 komentar:

Copyright 2009 RYRI LUMOET. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy | Blogger Templates