RSS

PENGARUH PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN DISMENORE PRIMER


Sindrom pramenstruasi (PMS = Premenstrual Syndrome) atau premenstrual tension (PMT) adalah gabungan dari gejala-gejala fisik dan psikologis yang terjadi selama fase luteal siklus menstruasi dan menghilang setelah menstruasi dimulai (Sylvia A. Price, 2005). Banyak gadis merasa sakit ketika haid. Keluhan ini disebut dysmenorhoea dan biasanya baru timbul 2 atau 3 tahun sesudah menarche (Derek Llewelllyn-Jones, 2009).
Dismenore atau menstruasi yang menimbulkan nyeri merupakan masalah ginekologi yang paling umum dialami wanita dari berbagai tingkat usia. Dismenore adalah nyeri selama menstruasi yang disebabkan oleh kejang otot uterus. Gejalanya dimulai dari nyeri pada saat awitan menstruasi. Nyeri dapat tajam, tumpul, siklik, atau menetap, dapat berlangsung dalam beberapa jam sampai 1 hari.
Di Indonesia angka kejadian dismenore sebesar 64.25 % yang terdiri dari 54,89% dismenore primer dan 9,36 % dismenore sekunder (Info sehat, 2008). Diperkirakan wanita Amerika 1,7 juta hari kerja setiap bulan akibat dismenore. Frekuensi dismenore cukup tinggi hampir 90% wanita mengalami dismenore, 10 – 15% diantaranya mengalami dismenorea berat yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan kegiatan apapun dan ini menurunkan kualitas hidupnya (Jurnal Occupation And Environmental Medicine, 2008).
Dismenore cukup mengganggu seluruh aktifitas sehari-hari. Apabila keluhan-keluhan itu datang,ada beberapa cara untuk meredakan gejala-gejala dismenore. Pengobatan yang dapat dipakai adalah dengan menggunakan agen-agen anti inflamasi nonsteroid (NSAID) yang bekerja sebagai antiprostaglandin yang dapat meredakan nyeri. Akan tetapi penggunaan obat farmakologis menimbulkan efek samping dan tidak ada tindakan mandiri dari perawat.
Untuk beberapa wanita, panas (kompres panas atau mandi air panas), masase, distraksi, latihan fisik, dan tidur cukup untuk meredakan dismenore primer. Penggunaan kompres hangat diharapkan dapat meningkatkan relaksasi otot-otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan serta memberikan rasa hangat lokal. Pada umumnya panas cukup berguna untuk pengobatan. Panas meredakan iskemia dengan menurunkan kontraksi dan meningkatkan sirkulasi. Kompres hangat tidak akan melukai kulit karena terapi kompres hangat tidak dapat masuk jauh ke dalam jaringan. Apabila kompres hangat digunakan selama 1 jam atau lebih bisa menyebabkan kemerahan dan rasa perih (Potter, Perry, 2005).
Maka dari itu pemberian kompres hangat dilakukan secara periodik, dengan pemberian secara periodik dapat mengembalikan efek vasodilatiasi. Penggunaan kompres hangat pada perut bagian bawah saat nyeri menstruasi diharapkan dapat menurunkan intensitas nyeri. Dengan kompres hangat terjadi pelebaran pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan tekanan kapiler.

KOMUNIKASI TERAPEUTIK

1. Pengertian
Poter.dkk,1993, mendefinisikan Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan unuk kesembuhan pasien ( Uripni, 2003 ).
Komunikasi terapeutik merupakan bagian dari komunikasi yang interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien, dimana dalam proses komunikasi dapat memberikan pengertian tingkah laku pasien dan membantu pasien mengatasi persoalan yang dihadapi. (Purwanto, 1993). Dikatakan juga bahwa komunikasi terapeutik merupakan bentuk ketrampilan yang mendasar untuk melakukan wawancara dan penyuluhan serta sebagai media terapeutik.
Maka dari itu ketrampilan berkomunikasi secara terapeutik sangat perlu dimiliki oleh para perawat, guna membina hubungan yang terapeutik dalam membantu klien memecahkan masalahnya.

2. Manfaat Komunikasi Terapeutik
Uripni, 2003 juga menyebutkan bahwa dengan komunikasi terapeutik perawat mampu :
1. Mendorong dan menganjurkan kerjasama antar antara perawat dengan pasien melalui suatu hubungan yang terapeutik.
2. Mengidentifikasi, mengungkapkapkan perasaan dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan
3. Mencegah adanya tindakan yng negative terhadap pertahanan diri pasien (pada tahap preventif).

3. Tujuan Komunikasi terapeutik
Heri Purwanto menyebutkan tujuan komunikasi terapeutik adalah :
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sediri.

Sedangkan tujuan terapeutiknya sendiri, menurut Stuart,etc (Hamid, 1996), diarahkan kepada pertumbuhan klien yang meliputi :
1) Realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri sendiri.
2) Identitas diri yang jelas dan rasa integritas diri yang tinggi.
3) Mampu membina hubungan interpersonal yang intim, saling tergantung.
4) Peningkatan fungsi dan kemampuan yang memuaskan serta mencapai tujuan personal yang jelas.

4. Unsur Komunikasi Terapeutik
Unsur-unsur dalam komunikasi terapeutik adalah :
1. Sumber komunikasi terapeutik yaitu pengirim dan penerima pesan. Prakarsa berkomunikasi dilakukan oleh sumber ini dimana sumber juga menerima pesan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam mengirim
2. Pesan yang disampaikan dengan menggunakan sandi-sandi baik yang berupa bahasa verbal maupun non verbal.
3. Penerima, sebagai orang yang menerima pesan dan membalas yang disampaikan oleh sumber, sehingga dapat diketahui mengerti tidaknya suatu pesan.
4. Lingkungan dan waktu komunikasi terapeutik berlangsung. Dalam hal ini meliputi saluran penyampaian dan penerimaan pesan serta lingkungan alamiah saat pesan disampaikan. Saluran penyampaian pesan melalui indra manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, pengecap dan perabaan.

5. Prinsip komunikasi terapeutik
Menurut Carl Roger, Prinsip dari komunikasi terapeutik (Purwanto, 1993 ) adalah:
1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.
2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai.
3. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien.
4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.
5. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.
6. Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustasi.
7. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
8. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukanlah tindakan yang terapeutik.
9. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.
10. Mampu berperan sebagai role mode agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual dan gaya hidup.
11. Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu.
12. Altruisme mendapat kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi.
13. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prisip kesejahteraan manusia.
14. Bertanggung jawab dalam dua dimensi, yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan bertanggung jawab terhadap orang lain.

6. Karakteristik komunikasi terapeutik
Ada tiga hal yang mendasar yang memberikan karakteristik komunikasi terapeutik menurut Arwani, 2002 yaitu :
1. Keiklasan ( Genuineness )
Dalam rangka membantu klien, perawat harus menyadari tentang nilai, sikap, dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Apa yang perawat pikirkan dan rasakan tentang individu dan dengan siapa dia berinteraksi selalu dikomunikasikan pada individu, baik secara verbal maupun nonverbal. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunya terhadap pasien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikannya secara tepat. Perawat tidak akan menolak segala bentuk perasaan negatif yang dipunyai klien, bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien. Hasilnya, perawat akan mampu mengeluarkan segala perasaan yang dimiliki dengan cara yang tepat, bukan dengan cara menyalahkan atau menghukum klien.
Tidak selalu mudah melakukan suatu keikhlasan. Untuk menjadi lebih percaya diri tentang perasaan dan nilai-nilai yang dimiliki membentuk pengembangan diri yang dapat dipertimbangkan dilakukan setiap saat. Sehingga, sekali perawat mampu untuk menyatakan apa yang dia inginkan untuk membantu memulihkan kondisi pasien dengan cara yang tidak mengancam, pada saat itu pula kapasitas yang dimiliki untuk mencapai hubungan yang paling menguntungkan akan meningkat secara bermakna.

2. Empati
Empati merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan” perawat terhadap perasan yang dialami klien dan kemampuan merasakan “dunia pribadi pasien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitive, dan tidak dibuat-buat (obyektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan berfikir atau merasakan apa yang sedang dilakukan atau merasakan apa yang sedang dilakukan atau dirasakan oleh pasien. Karenanya, simpati lebih bersifat subyektif dengan melihat “dunia orang lain” untuk mencegah perspektif yang lebih jelas dari semua sisi yang ada tentang isu-isu yang sedang dialami seseorang.
Empati cenderung bergantung pada kesamaan pengalaman di antara orang yang terlibat komukasi. Perawat akan lebih mudah mengatasi nyeri pada pasien, misalnya, jika dia mempunyai pengalaman yang sama tentang nyeri. Karena hal ini sulit dilakukan, kecuali karena adanya keseragaman atau kesamaan pengalaman atau situasi yang relevan, perawat terkadang sulit untuk berperilaku empati pada semua situasi. Namun demikian, empati bisa dikatakan sebagai “kunci” sukses dalam berkomunikasi dan ikut memberikan dukungan tentang apa yang sedang dirasakan klien.
Sebagai “perawat empati”, perawat harus berusaha keras untuk mengetahui secara pasti apa yang sedang dipikirkan dan dialami klien. Pada kondisi seperti ini, empati dapat diekspresikan melalui berbagai cara yang dapat dipakai ketika dibutuhkan, mengatakan sesuatu tentang apa yang perawat pikirkan tentang klien, dan memperlihatkan kesadaran tentang apa yang saat ini sedang dialami pasien. Empati membolehkan perawat untuk berpartisipasi sejenak terhadap sesuatu yang terkait dengan emosi klien. Perawat yang berempati dengan orang lain dapat menghindari penilaian berdasarkan kata hati (implulsive judgement) tentang seseorang dan pada umunya dengan empati dia akan menjadi lebih sensitive dan ikhlas.

3. Kehangatan ( Warmth )
Hubungan yang paling membantu (helping relastionship) dibuat untuk memberikan kesempatan klien mengeluarkan “unek-unek” (perasaan dan nilai-nilai) secara bebas. Dengan kehangatan, perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif, dan tanpa adanya ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien. Sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam. Kondisi ini akan membuat perawat mempunyai kesempatan lebih luas untuk mengetahui kebutuhan klien. Kehangatan juga dapat dikomunikasikan secara nonverbal. Penampilan yang tenang, meyakinkan, dan pegangan tangan atau kasih sayang perawat terhadap pasien.

7. Tahap – tahap Komunikasi Terapeutik
Tahap – tahap komunikasi terapeutik dalam hubungan perawat – pasien terdiri dari 4 tahap yaitu tahap pra interaksi, tahap orientasi, tahap kerja ( lanjutan) dan tahap terminasi ( perpisahan ).
1) Pra Interaksi
Menggali perasaan, Menganalisa kemampuan dan keterbatasan professional diri sendiri, Mengumpulkan data pasien ( dari status ), Merencanakan pertemuan dengan pasien.
2) Orientasi
Pada fase ini perawat membentuk hubungan saling percaya dengan klien, dengan cara memperkenalkan diri, membuat persetujuan komunikasi, mengidentifikasi masalah, mengkaji tingkat kecemasan klien, mengkaji apa yang diharapkan pasien Dan tehnik komunikasi terapeutik yang digunkana biasanya adalah :
a. Open-Ended Question ( Pertanyaan Terbuka ) yaitu pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban “ya” dan “mungkin” tetapi pertanyaan memerlukan jawaban yang luas, sehingga pasien dapat mengemukakan masalahnya, perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang diperlukan.
b. Eksplorasi
Menggali lebih dalam ide-ide, pengalaman, masalah pasien yang perlu diketahui. Banyak pasien yang berbicara hanya hal-hal yang ringan-ringan saja, sepertinya pasien sedang menguji apakah perawat cukup tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Atau mungkin juga pasien menganggap bahwa pengalaman masa lalu seakan-akan tidak penting
“ Selamat pagi bapak / Ibu…”
“Nama saya Sinungkara, perawat kamar operasi yang akan menemani anak bapak / ibu saat dilakukan tindakan operasi nanti..?
“Bagaimana kabarnya ?”
“ Bagaimana ceritanya sehingga anak bapak / ibu harus dilakukan tindakan operasi ?
“Bagaimana perasaan bapak / ibu ?”
“Apa yang Bapak / ibu rasakan saat kecemasan muncul ?

c. Fase kerja
Pada fase ini beberapa hal yang dilakukan adalah :
Meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan dan menggunakan tehnik-tehik komunikasi terapeutik sebagai cara pemecahan dan dalam mengembangkan hubungan kerjasama. Selain itu juga meningkatkan faktor fungsional komunikasi terapeutik melalui pengkajian dilanjutkan kembali serta mengevaluasi masalah yang timbul, meningkatkan komunikasi pasien dan mengurangi ketergantungan terhadap perawat dan mempertahankan tujuan yang telah disepakatidan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada.
Tehnik Komunikasi Terapeutik yang dapat dipergunakan antara lain :
a. Mendengarkan dengan aktif.
Proses aktif dari penerimaan informasi dan penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima. di sini yang dilakukan adalah dengan tetap mempertahankan kontak mata dan komunikasi non verbal yang resertif, karena dapat menunjukkan minat dan penerimaan perawat terhadap klien.
b. Pembukaan yang luas
Memberikan dorongan pada klien untuk memilih topik yang akan dibicarakan. Hal ini dapat menunjukkan penerimaan perawat akan nilai dan inisiatif pasien. Pada penggunaan tehnik ini sebaiknya dihindarkan pertanyaan dengan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’.
“Apa yang sedang anda pikirkan ?”atau adakah sesuatu yang mengganjal dalam hati bapak/ibu, atau adakah informasi yang kurang jelas ? bisakah diceritakan pada saya, saya akan berusaha membantu bapak/ ibu sebisa saya….”
c. Pengulangan pernyataan
Perawat mengulang sebagian pertanyaan pasien dengan menggunakan kata-katanya sendiri, yang menunjukkan bahwa perawat mendengar dan memperhatikan apa yang dikemukakan klien, menguatkan dan mengembalikan perhatian klien pada sesuatu yang telah diucapkan klien.
O.. jadi maksud bapak / ibu, apa operasi ini bisa ditunda ? “
d. Refleksi
Mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan dan isi pembicaraan kepada klien. ini dapat memvalidasi pengertian perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat dan rasa hormat terhapadap klien.
“Bagaimana menurut bapak dan ibu setelah mendapat informasi dari dokter kemarin, apakah operasi merupakan jalan yang terbaik ?”
e. Klarifikasi
Berupaya untuk menjelaskan ke dalam kata-kata atau idea tau pikiran klien yang tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan artinya, agar tidak terjadi salah pengertian. Misalnya :
“ Apakah maksudnya bapak/ibu kuatir jika kami tidak memperhatikan dan menjaga dengan baik saat anak ibu dioperasi ? “
f. Pemusatan
Perawat membantu pasien untuk memfokuskan pembicaraan agar lebih spesifik dan terarah. Biasanya tehnik ini diperlukan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang suatu masalah.
”Barangkali bapak/ ibu mau menjelaskan apa yang bapak alami, sehingga anak bapak tidak boleh dioperasi dan dirawat di rumah sakit atau ada kendala lain ? ”
g. Berbagi persepsi
Perawat mengungkapkan persepsinya tentang pasien dan meminta umpan balik dari pasien. ini dapat menyampaikan pengertian perawat dan mempunyi kemampuan untuk meluruskan kerancuan.
Misalnya :
“Ibu tersenyum, tapi saya merasakan bahwa ibu sedang bingung dan cemas……”
h. Diam
Dengan mengurangi komunikasi verbal dan memberikan waktu kepada pasien untuk berpikir dan menghayati, dan mendorong pasien untuk mengawali percakapan, sementara itu perawat menyampaikan dukungan, penertian dan penerimaannya. Ini merupakan media terapeutik yang sangat berharga karena dapat memotivasi pasien untuk bicara, mengarahkan pikirannya kepada masalah yang dihadapi. Memberi waktu kepada pasien dalam menimbang alternative tindakan yang perlu dilakukan dan memberi kesempatan untuk merasakan bahwa dirinya diterima seutuhnya, meskipun pasien tetap berdiam diri atau merasa malu, tetapi pasien merasa dirinya berharga dan diterima.
Namun Diam dapat mendorong atau menghambat komunikasi sehingga perawat harus hati-hati dalam mengemukakan tehnik ini. Bagi pasien diam bisa diartikan sebagai dorongan dan penerimaan. Misalnya : duduk diam beberapa saat.
i. Memberikan informasi
Memberikan informasi kepada pasien mengenai hal-hal yang tidak/belum diketahuinya untuk membina hubungan saling percaya dengan pasien sehingga menambah pengetahuan pasien yang akan berguna baginya untuk mengambil keputusan secara realistik. Informasi yang diberikan antara lain tentang apa yang dimaksud dengan operasi, apa tujuan dari operasi, apa itu pembiusan, apa tujuan dari pembiusan, apa dampak dari operasi dan apa dampak dari pembiusan, bagaimana persiapan yang perlu dilakukan saat akan dilakukan operasi.
j. Memberikan saran
Memberikan tehnik komunikasi yang baik bila digunakan pada waktu yang tepat dan cara yang konstruktif, sehingga pasien bisa memilih.
“Setelah mendengar informasi tentang berbagi hal tentang penyakit anak bapak/ ibu, juga tentang operasinya, apa tidak lebih baik jika anak bapak / ibu harus menjalani operasi, supaya mendapatkan kesehatan dan kesembuhan yang optimal?”
d. Fase terminasi
Merupakan fase pembuatan kesimpulan pengobatan yang didapatkan,dan mengantisipasi masalah yang timbul karena kemungkinan klien akan tergantung dengan perawat.
“ Baiklah, setelah kita berbincang-bincang.. bagaimana perasaan bapak/ibu? apakah sudah lebih baik ? “
“Nah sekarang silahkan mengambil keputusan untuk persetujuan operasi. Karena ini sangat penting untuk kesehatan dan kesembuhan anak bapak/ibu. Semoga bapak/ibu mengambil keputusan yang terbaik. Bila nanti keputusannya sudah ada, bapak/ ibu bisa menemui saya atau perawat jaga. Terimakasih. Selamat siang dan sampai ketemu di kamar operasi ”

8. Hubungan terapeutik perawat dan klien
Adalah hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar menukar prilaku, perasaan , pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik ( Stuard dan Sundeen,1991 ). Oleh karena itu, karateristik yang perlu dimiliki perawat adalah :
1. Sadar akan dirinya : Perawat mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Ia dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
2. Analisa perasaan sendiri : Perawat perlu terbuka dan sadar terhadap perasaannya serta mengontrol agar Ia dapat menggunakan secara terapeutik.
3. Klarifikasi Nilai : Hubungan perawat - klien merupakan hubungan timbal balik, tetapi kebutuhan klien merupakan fokus utama. perawat perlu menyadarai nilai-nilai yang dimiliki, misalnya kepercayaan , ikatan keluarga, aspek seksual agar tidak merugikan klien.
4. Contoh peran ( role model ): Perawat dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan kehidupan pribadi, tidak didominasi oleh konflik,stress yang maladaptif, memperlihatkan adaptasi yang sehat, bertanggung jawab terhadap prilakunya, berperan sebagai contoh bagi klien.

Dengan memiliki karakteristik diatas diharapkan perawat dapat mengembangkan sikap terapeutik yang mendukung dan menolong klien.
Sikap atau respon perawat yang perlu dikembangkan dalam berhubungan dengan klien adalah :
Ikhlas : dinyatakan melalui keterbukaan. kejujuran, ketulusan, tidak pura-pura dan spontan memberi respon. Dengan sikap ini klien percaya bahwa perawat dapat membantu memecahkan masalahnya.
Menghargai : Menerima klien apa adanya dan percaya klien dapat menyelesaikan masalahnya. Perawat tidak menghakimi, mengejek atau menghina.
Empati : mengerti dan menerima kehidupan, pikiran dan perasaan klien secara akurat.
Segera : Tanggap terhadap perasaan klien dan ingin segera membantu.
Konfrontasi : adalah ekspresi perasaan perawat terhadap prilaku klien yang tidak sesuai.
Kongkrit : Komunikasi yang jelas, spesifik, mudah dimengerti.
Keterbukaan : terbuka tentang dirinya.

ASKEP GADAR KOMA HIPOGLIKEMIA

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipoglikemia adalah kadar glukosa puasa yang lebih rendah dari 70 mg/dl.
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl.
Hipoglikemia dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan dan latihan jasmani serta obat yang digunakan. Pengobatan terbaik hipoglikemia adalah mencegah terjadinya hipoglikemia.

2.2 Etiologi
 Etiologi hipoglikemi pada diabetes melitus (DM)
1. Hipoglikemi pada DM stadium dini.
2. Hipoglikemi dalam rangka pengobatan.
a. Penggunaan insulin.
b. Penggunaan sulfonilurea.
c. Bayi yang lahir dari ibu berkaitan dengan DM
3. Hipoglikemi yang tidak berkaitan dengan DM.
a. Hiperinsulinisme alimenter pascagastrektoni.
b. Insulinoma
c. Tumor ekstrapankreatik : fibsosorkoma, karsinoma ginjal.
d. Hipopituitarisme.


2.3 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya hipoglikemi pada pasien yang mendapat pengobatan insulin atau sulfonilurea.
1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pasien.
- Pengurangan/keterlambatan makan.
- Kesalahan dosis akut.
- Perubahan tempat suntikan insulin.
- Penurunan kebutuhan insulin.
• Penyembuhan dari penyakit.
• Nefropati diabetik
• Hipotiroidisma.
• Penyakit addison.
• Hipopiturtarisme.
- Hari-hari pertama persalinan.
- Penyakit hati berat.
- Gastroparesis diabetik.
2. Faktor- faktor yang berkaitan dengan dokter.
- Pengendalian glukosa darah yang ketat.
- Pemberian obat-obat yang mempunyai potensi hipoglikemik.
- Penggantian jenis insulin.

2.4 Patofisiologi
Ketergantungan otak setiap saat pada glukosa yang disuplai oleh sirkulasi diakibatkan oleh ketidakmampuan otak untuk membakar asam lemak berantai panjang, kurangnya simpanan glukosa sebagai glikogen di dalam otak orang dewasa, dan ketidaktersediaan keton dalam fase makan atau kondisi posabsorptif.
Terdapat sedikit perdebatan tentang manakala gula darah turun dengan tiba-tiba, otak mengenali defisiensi energinya setelah kadar serum turun jauh dibawah sekitar 45 mg/dl. Kadar dimana gejala-gejala timbul akan berbeda dari satu pasien dengan pasien lain, dan bukanlah hal yang tidak lazim pada kadar serendah 30 sampai 35 mg/dl untuk terjadi (spt, selama tes toleransi glukosa) tanpa gejala-gejala yang telah disebutkan.
Yang lebih kontroversial adalah pertanyaan tentang apakah gejala-gejala dapat berkembang dalam berespon terhadap turunnya kadar gula darah bahkan sebelum turun di bawah batasan kadar normal. Karena suatu respon fisiologi tertentu, seperti pelepasan hormon pertumbuhan, terjadi dengan penurunan gula darah namun tetap normal, tampaknya gejala-gejala terjadi pada kondisi ini, tetapi stimulus penurunan kadar kemungkinan kurang kuat dan konsisten dibanding penurunan dibawah ambang absolut. Bagaimanapun, otak tampak dapat beradaptasi sebagian terhadap penurunan kadar gula darah, terutama jika penurunan terjadi lambat dan kronis. Bukanlah hal yang tidak lazim bagi pasien dengan gula darah yang sangat rendah, seperti yang terjadi pada tumor pensekresi insulin, untuk memperlihatkan fungsi serebral yang sangat normal dalam menghadapi gula darah yang rendah terus menerus dibawah batasan normal.

2.5 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma).
Gejala-gejala hipoglikemia juga terdiri dari dua fase, yaitu :
1. Fase 1, gejala-gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga hormon epinefrin dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu pasien masih sadar sehingga dapat diambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.
2. Fase 2, gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, karena itu dinamakan gejala neurologis.
Hipoglikemi terjadi karena adanya kelebihan insulin dalam darah sehingga menyebabkan rendahnya kadar gula dalam darah. Kadar gula darah yang dapat menimbulkan gejala-gejala hipoglikemi, bervariasi antara satu dengan yang lain.
Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi jugamenyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Hipoglikemia yang lebih berat menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan menyebabkan pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, perilaku yang tidak biasa, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan koma. Hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Gejala yang menyerupai kecemasan maupun gangguan fungsi otak bisa terjadi secara perlahan maupun secara tiba-tiba. Hal ini paling sering terjadi pada orang yang memakai insulin atau obat hipoglikemik per-oral. Pada penderita tumor pankreas penghasil insulin, gejalanya terjadi pada pagi hari setelah puasa semalaman, terutama jika cadangan gula darah habis karena melakukan olah raga sebelum sarapan pagi. Pada mulanya hanya terjadi serangan hipoglikemia sewaktu-waktu, tetapi lama-lama serangan lebih sering terjadi dan lebih berat.

2.6 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan glukosa darah sebelum dan sesudah suntikan dekstrosa.

2.7 Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit). Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung lama serta tidak mungkin untuk memasukkan gula melalui mulut penderita, maka diberikan glukosa intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius. Seseorang yang memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya selalu membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Tumor penghasil insulin harus diangkat melalui pembedahan. Sebelum pembedahan, diberikan obat untuk menghambat pelepasan insulin oleh tumor (misalnya diazoksid). Bukan penderita diabetes yang sering mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan hipoglikemia dengan sering makan dalam porsi kecil.


BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Riwayat
• Sakit kepala
• Gangguan penglihatan
• Palpitasi
• Mual dan mutah
• Kelemahan
• Peningkatan tekanan darah
• Kejang
• Koma

2. Hasil Pemeriksaan Diagnostik
• Prosedur khusus: untuk hipoglikemia reaktif tes toleransi glukosa postpradial oral 5 jam menunjukkan glukosa serum <50 mg/dl setelah 5 jam.
• Pengawasan di tempat tidur: peningkatan tekanan darah.
• Pemeriksaan laboratorium: glukosa serum <50 mg/dl, spesimen urin dua kali negatif terhadap glukosa.
• EKG: Takikardia.

3. Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi: Pucat, diaforesis, Kulit lembab dan dingin, gemetar, peningkatan pernafasan dangkal.
• Palpasi: Piloreksi, kelemahan motorik.
• Auskultasi:
Gastrointestinal: peningkatan bising usus.
Kardiovaskuler: Takikardia.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko komplikasi b/d kadar glukosa plasma yang rendah seperti, gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma hipoglikemi
2. Perubahan sensori perseptual b/d ketidakseimbangan glukosa
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d penurunan masukan oral
4. Kelelahan b/d penurunan energi metabolik

3.3 Intervensi
1. Resiko komplikasi b/d kadar glukosa plasma yang rendah seperti, gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma hipoglikemi.
 Cek serum glukosa sebelum dan setelah makan
 Monitor : kadar glukosa, pucat, keringat dingin, kulit yang lembab
 Monitor vital sign
 Monitor kesadaran
 Monitor tanda gugup, irritabilitas
 Lakukan pemberian susu manis peroral 20 cc X 12
 Analisis kondisi lingkungan yang berpotensi menimbulkan hipoglikemi.
 Cek BB setiap hari
 Cek tanda-tanda infeksi
 Hindari terjadinya hipotermi
 Lakukan kolaborasi pemberian Dex 15 % IV
 Lakukan kolaborasi pemberian O2 1 lt – 2 lt /menit

2. Diagnosa keperawataan: Defisit volume cairan b/d kehilangan gastrik berlebihan.
Kriteria hasil:
 Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan ortostatik. Hipoglikemia dapat dimanifestasikan oleh takikardia
Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa. Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat.
Ukur berat badan setiap hari. Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti
Catat hal-hal yang sering di laporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung. Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung, yang seringkali akan menimbulkan muntah dan secara potensial akan menimbulkan kekurangan cairan dan elektrolit.
Kolaborasi
Berikan terapi cairan sesuai dengan indikasi, normal salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dekstrosa. Mengembalikan cairan yang adekuat.

3. Diagnosa Keperawatan : Perubahan sensori perseptual b/d ketidakseimbangan glukosa.
Kriteria Hasil :
 Mempertahankan tingkat mental biasanya.
 Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau tanda-tanda vital dan status mental. Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi mental.
Panggil pasien dengan nam, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya, misalnya terhadap tempat, orang, dan waktu. Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas.
Lindungi pasien dari cedera (gunakan pengikat) ketika tingkat kesadaran pasien terganggu. Berikan bantalan lunak pada pagar tempat tidur dan berikan jalan nafas buatan yang lunak jika pasien kemungkinan mengalami kejang. Pasien mengalami disorientasi merupakan awal kemungkinan timbulnya cedera, terutama amalam hari dan perlu pencegahan sesuai indikasi.
Berikan tempat tidur yang lembut. Pelihara kehangatan kaki/tangan, hindari terpajan terhadap air panas atau dingin atau penggunaan bantalan atau pemanas. Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan kerusakan kulit karena panas.
Kolaborasi
Pantau nilai laboratorium, glukosa darah. Keseimbangan nilai laboratorium ini dapat menurunkan fungsi mental.

4. Diagnosa Keperawatan : Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d penurunan masukan oral
Kriteria Hasil :
 Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat.
 Menunjukkan tingkat energi biasanya.
 Mendemonstrasikan berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya/yang diinginkan dengan nilai laboratorium normal.
Intervensi Rasional
Mandiri
Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi. Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorpsi dan utilitisnya).
Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien. Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan melalui oral. Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika paien sdar dan fungsi gastrointestinalnya baik.
Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan ini sesuai dengan indikasi. Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien.
Kolaborasi
Konsultasi dengan ahli diet. Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.

5. Diagnosa Keperawatan : Kelelahan b/d penurunan energi metabolik
Kriteria Hasil :
 Mengungkapkan peningkatkan energi.
 Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi Rasional
Mandiri
Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktifitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas. Mengidentifikasi tingkat aktifitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi. Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.

3.4 Implementasi
 Memperbaiki status cairan
 Mempertahankan nutrisi yang adekuat
 Mengurangi kelelahan
 Mengurangi rasa cemas atau takut
 Memberi pengetahuan

3.5 Evaluasi
 Keseimbangan cairan membaik
 Kelelahan berkurang dan tidak merasa lelah
 Nutrisi yang adekuat dan dapat mempertahankan berat badan dan dapat memilih makanan, jumlah, dan distribusi makanan yang cocok.
 Rasa takut atau cemas berkurang
 Memperoleh pengetahuan yang cukup


BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl. Tanda dan gejala hipoglikemia terdiri dari Fase I,gejala –gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga hormon epinefrin di lepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karna saat itu pasien masih sadar sehingga dapat di ambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.Fase II, gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak , karena itu dinamakan gejala neurologis.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jakarta : Media Aesculapius.
Carpenito Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakata : EGC.
Emedicine Journal, Emergency medicine.
http://doctorsjournals.wordpress.com/
Hudak, M. Carolyn. 1996. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

REPRODUCTIVE HEALTH

A. Background
All living things reproduce. Reproduction — the process by which organisms make more organisms like themselves — is one of the things that set living things apart from nonliving matter. But even though the reproductive system is essential to keeping a species alive, unlike other body systems, it's not essential to keeping an individual alive.
In the human reproductive process, two kinds of sex cells, or gametes (pronounced: gah-meetz), are involved. The male gamete, or sperm, and the female gamete, the egg or ovum, meet in the female's reproductive system to create a new individual. Both the male and female reproductive systems are essential for reproduction. The female needs a male to fertilize her egg, even though it is she who carries offspring through pregnancy and childbirth.
Humans, like other organisms, pass certain characteristics of themselves to the next generation through their genes, the special carriers of human traits. The genes that parents pass along to their children are what make children similar to others in their family, but they are also what make each child unique. These genes come from the father's sperm and the mother's egg, which are produced by the male and female reproductive systems.

B. What Is the Female Reproductive System?
Most species have two sexes: male and female. Each sex has its own unique reproductive system. They are different in shape and structure, but both are specifically designed to produce, nourish, and transport either the egg or sperm.
Unlike the male, the human female has a reproductive system located entirely in the pelvis (that's the lowest part of the abdomen). The external part of the female reproductive organs is called the vulva, which means covering. Located between the legs, the vulva covers the opening to the vagina and other reproductive organs located inside the body.
The fleshy area located just above the top of the vaginal opening is called the mons pubis (pronounced: manz pyoo-bis). Two pairs of skin flaps called the labia (which means lips and is pronounced: lay-bee-uh) surround the vaginal opening. The clitoris (pronounced: klih-tuh-rus), a small sensory organ, is located toward the front of the vulva where the folds of the labia join. Between the labia are openings to the urethra (the canal that carries urine from the bladder to the outside of the body, which is pronounced: yoo-ree-thruh) and vagina. Once girls become sexually mature, the outer labia and the mons pubis are covered by pubic hair.
A female's internal reproductive organs are the vagina, uterus, fallopian tubes, and ovaries.
The vagina is a muscular, hollow tube that extends from the vaginal opening to the uterus. The vagina is about 3 to 5 inches (8 to 12 centimeters) long in a grown woman. Because it has muscular walls it can expand and contract. This ability to become wider or narrower allows the vagina to accommodate something as slim as a tampon and as wide as a baby. The vagina's muscular walls are lined with mucous membranes, which keep it protected and moist. The vagina has several functions: for sexual intercourse, as the pathway that a baby takes out of a woman's body during childbirth, and as the route for the menstrual blood (the period) to leave the body from the uterus.
A thin sheet of tissue with one or more holes in it called the hymen partially covers the opening of the vagina. Hymens are often different from person to person. Most women find their hymens have stretched or torn after their first sexual experience, and the hymen may bleed a little (this usually causes little, if any, pain). Some women who have had sex don't have much of a change in their hymens, though.
The vagina connects with the uterus, or womb, at the cervix. The cervix has strong, thick walls. The opening of the cervix is very small (no wider than a straw), which is why a tampon can never get lost inside a girl's body. During childbirth, the cervix can expand to allow a baby to pass.
The uterus is shaped like an upside-down pear, with a thick lining and muscular walls — in fact, the uterus contains some of the strongest muscles in the female body. These muscles are able to expand and contract to accommodate a growing fetus and then help push the baby out during labor. When a woman isn't pregnant, the uterus is only about 3 inches (7.5 centimeters) long and 2 inches (5 centimeters) wide.
At the upper corners of the uterus, the fallopian (pronounced: fuh-lo-pee-un) tubes connect the uterus to the ovaries (pronounced: o-vuh-reez). The ovaries are two oval-shaped organs that lie to the upper right and left of the uterus. They produce, store, and release eggs into the fallopian tubes in the process called ovulation (pronounced: av-yoo-lay-shun). Each ovary measures about 1½ to 2 inches (4 to 5 centimeters) in a grown woman.
There are two fallopian tubes, each attached to a side of the uterus. The fallopian tubes are about 4 inches (10 centimeters) long and about as wide as a piece of spaghetti. Within each tube is a tiny passageway no wider than a sewing needle. At the other end of each fallopian tube is a fringed area that looks like a funnel. This fringed area wraps around the ovary but doesn't completely attach to it. When an egg pops out of an ovary, it enters the fallopian tube. Once the egg is in the fallopian tube, tiny hairs in the tube's lining help push it down the narrow passageway toward the uterus.
The ovaries are also part of the endocrine system because they produce female sex hormones such as estrogen (pronounced: es-truh-jun) and progesterone (pronounced: pro-jes-tuh-rone).
C. What Does the Female Reproductive System Do?
The female reproductive system enables a woman to:
• produce eggs (ova)
• have sexual intercourse
• protect and nourish the fertilized egg until it is fully developed
• give birth
Sexual reproduction couldn't happen without the sexual organs called the gonads. Although most people think of the gonads as the male testicles, both sexes actually have gonads: In females the gonads are the ovaries. The female gonads produce female gametes (eggs); the male gonads produce male gametes (sperm). After an egg is fertilized by the sperm, the fertilized egg is called the zygote (pronounced: zi-gote).
When a baby girl is born, her ovaries contain hundreds of thousands of eggs, which remain inactive until puberty begins. At puberty, the pituitary gland, located in the central part of the brain, starts making hormones that stimulate the ovaries to produce female sex hormones, including estrogen. The secretion of these hormones causes a girl to develop into a sexually mature woman.
D. Menstruation
Toward the end of puberty, girls begin to release eggs as part of a monthly period called the menstrual cycle. Approximately once a month, during ovulation, an ovary sends a tiny egg into one of the fallopian tubes. Unless the egg is fertilized by a sperm while in the fallopian tube, the egg dries up and leaves the body about 2 weeks later through the uterus. This process is called menstruation (pronounced: men-strew-ay-shun). Blood and tissues from the inner lining of the uterus combine to form the menstrual flow, which in most girls lasts from 3 to 5 days. A girl's first period is called menarche (pronounced: meh-nar-kee).
It's common for women and girls to experience some discomfort in the days leading to their periods. Premenstrual syndrome (PMS) includes both physical and emotional symptoms that many girls and women get right before their periods, such as acne, bloating, fatigue, backaches, sore breasts, headaches, constipation, diarrhea, food cravings, depression, irritability, or difficulty concentrating or handling stress. PMS is usually at its worst during the 7 days before a girl's period starts and disappears once it begins.
Many girls also experience abdominal cramps during the first few days of their periods. They are caused by prostaglandins, chemicals in the body that makes the smooth muscle in the uterus contract. These involuntary contractions can be either dull or sharp and intense.
It can take up to 2 years from menarche for a girl's body to develop a regular menstrual cycle. During that time, her body is adjusting to the hormones puberty brings. On average, the monthly cycle for an adult woman is 28 days, but the range is from 23 to 35 days.
E. Fertilization and Pregnancy
If a female and male have sex within several days of the female's ovulation (egg release), fertilization can occur. When the male ejaculates (which is when semen leaves a man's penis), between 0.05 and 0.2 fluid ounces (1.5 to 6.0 milliliters) of semen is deposited into the vagina. Between 75 and 900 million sperm are in this small amount of semen, and they "swim" up from the vagina through the cervix and uterus to meet the egg in the fallopian tube. It takes only one sperm to fertilize the egg.
About a week after the sperm fertilizes the egg, the fertilized egg (zygote) has become a multi-celled blastocyst (pronounced: blas-tuh-sist). A blastocyst is about the size of a pinhead, and it's a hollow ball of cells with fluid inside. The blastocyst burrows itself into the lining of the uterus, called the endometrium (pronounced: en-doh-mee-tree-um). The hormone estrogen causes the endometrium to become thick and rich with blood. Progesterone, another hormone released by the ovaries, keeps the endometrium thick with blood so that the blastocyst can attach to the uterus and absorb nutrients from it. This process is called implantation.
As cells from the blastocyst take in nourishment, another stage of development, the embryonic stage, begins. The inner cells form a flattened circular shape called the embryonic disk, which will develop into a baby. The outer cells become thin membranes that form around the baby. The cells multiply thousands of times and move to new positions to eventually become the embryo (pronounced: em-bree-o). After approximately 8 weeks, the embryo is about the size of an adult's thumb, but almost all of its parts — the brain and nerves, the heart and blood, the stomach and intestines, and the muscles and skin — have formed.
During the fetal stage, which lasts from 9 weeks after fertilization to birth, development continues as cells multiply, move, and change. The fetus (pronounced: fee-tus) floats in amniotic (pronounced: am-nee-ah-tik) fluid inside the amniotic sac. The fetus receives oxygen and nourishment from the mother's blood via the placenta (pronounced: pluh-sen-tuh), a disk-like structure that sticks to the inner lining of the uterus and connects to the fetus via the umbilical (pronounced: um-bih-lih-kul) cord. The amniotic fluid and membrane cushion the fetus against bumps and jolts to the mother's body.
Pregnancy lasts an average of 280 days — about 9 months. When the baby is ready for birth, its head presses on the cervix, which begins to relax and widen to get ready for the baby to pass into and through the vagina. The mucus that has formed a plug in the cervix loosens, and with amniotic fluid, comes out through the vagina when the mother's water breaks.
When the contractions of labor begin, the walls of the uterus contract as they are stimulated by the pituitary hormone oxytocin (pronounced: ahk-see-toh-sin). The contractions cause the cervix to widen and begin to open. After several hours of this widening, the cervix is dilated (opened) enough for the baby to come through. The baby is pushed out of the uterus, through the cervix, and along the birth canal. The baby's head usually comes first; the umbilical cord comes out with the baby and is cut after the baby is delivered.
The last stage of the birth process involves the delivery of the placenta, which is now called the afterbirth. After it has separated from the inner lining of the uterus, contractions of the uterus push it out, along with its membranes and fluids.

F. Things That Can Go Wrong With the Female Reproductive System
Girls and women may sometimes experience reproductive system problems. Below are some examples of disorders that affect the female reproductive system.

G. Things That Can Go Wrong With the Vulva and Vagina
• vulvovaginitis (pronounced: vul-vo-vah-juh-ni-tus), an inflammation of the vulva and vagina. It may be caused by irritating substances (such as laundry soaps or bubble baths). Poor personal hygiene (such as wiping from back to front after a bowel movement) may also cause this problem. Symptoms include redness and itching in the vaginal and vulvar areas and sometimes vaginal discharge. Vulvovaginitis can also be caused by an overgrowth of candida, a fungus normally present in the vagina.
• nonmenstrual vaginal bleeding, most commonly due to the presence of a vaginal foreign body, often wadded-up toilet paper. It may also be due to urethral prolapse, a condition in which the mucous membranes of the urethra protrude into the vagina and form a tiny, donut-shaped mass of tissue that bleeds easily. It can also be due to a straddle injury (such as when falling onto a beam or bicycle frame) or vaginal trauma from sexual abuse.
H. Things That Can Go Wrong With the Ovaries and Fallopian Tubes
• ectopic (pronounced: ek-tah-pik) pregnancy, when a fertilized egg, or zygote, doesn't travel into the uterus, but instead grows rapidly in the fallopian tube. Girls with this condition can develop severe abdominal pain and should see a doctor because surgery may be necessary.
• endometriosis (pronounced: en-doh-mee-tree-o-sus), when tissue normally found only in the uterus starts to grow outside the uterus — in the ovaries, fallopian tubes, or other parts of the pelvic cavity. It can cause abnormal bleeding, painful periods, and general pelvic pain.
• ovarian tumors, although rare, can occur. Girls with ovarian tumors may have abdominal pain and masses that can be felt in the abdomen. Surgery may be needed to remove the tumor.
• ovarian cysts, noncancerous sacs filled with fluid or semi-solid material. Although they are common and generally harmless, they can become a problem if they grow very large. Large cysts may push on surrounding organs, causing abdominal pain. In most cases, cysts will disappear on their own and treatment is unnecessary. If the cysts are painful, a doctor may prescribe birth control pills to alter their growth, or they may be removed by a surgeon.
• polycystic ovary syndrome, a hormone disorder in which too many male hormones (androgens) are produced by the ovaries. This condition causes the ovaries to become enlarged and develop many fluid-filled sacs, or cysts. It often first appears during the teen years. Depending on the type and severity of the condition, it may be treated with drugs to regulate hormone balance and menstruation.
I. Menstrual Problems
A variety of menstrual problems can affect girls. Some of the more common conditions are:
• dysmenorrhea (pronounced: dis-meh-nuh-ree-uh), when a girl has painful periods.
• menorrhagia (pronounced: meh-nuh-rah-zhuh), when a girl has a very heavy periods with excess bleeding.
• oligomenorrhea (pronounced: o-lih-go-meh-nuh-ree-uh), when a girl misses or has infrequent periods, even though she's been menstruating for a while and isn't pregnant.
• amenorrhea (pronounced: a-meh-nuh-ree-uh), when a girl hasn't started her period by the time she is 16 years old or 3 years after starting puberty, has not developed signs of puberty by age 14, or has had normal periods but has stopped menstruating for some reason other than pregnancy.

J. Infections of the Female Reproductive System
• Sexually transmitted infections. These include infections and diseases such as pelvic inflammatory disease (PID), human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS), human papilloma virus (HPV, or genital warts), syphilis, chlamydia, gonorrhea, and genital herpes. Most are spread from one person to another by sexual intercourse.
• Toxic shock syndrome. This uncommon illness is caused by toxins released into the body during a type of bacterial infection that is more likely to develop if a tampon is left in too long. It can produce high fever, diarrhea, vomiting, and shock.
If you think you have symptoms of a problem with your reproductive system or if you have questions about your growth and development, talk to your parent or doctor — many problems with the female reproductive system can be treated.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN SINDROMA NEFROTIK


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus. Namun istilah nefrosis sekarang tidak dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya butir-butir lipoid (Lipoid droplets) dalam sedimen urin pasien dengan “nefritis parenkimatosa kronik”. Kelainan ini ditemukan terutama atas dasar adanya lues dan diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah sindrom nefrotik (SN) kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukkan suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit yang mendasari.
Sampai abad ke-20 morbiditas SN pada anak masih tinggi, yaitu melebihi 50%. Pasien-pasien ini dirawat dalam jangka waktu lama karena edema anasarka disertai dengan ulserasi dan infeksi kulit. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamide dan penisilin pada tahun 1940 dan dipakainya hormone adrenokortikotropik (ACTH) dan kortikosteroid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini diperkirakan mencapai 67% yang sering disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis dan pada decade berikutnya mortalitas menurun sampai + 40%. Angka kematian menurun lagi mencapai 35% setelah obat penisilin mulai digunakan pada tahun 1946-1950.
Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950-an untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian menurun mencapai 20%. Schwartz dan kawan-kawan melaporkan angka mortalitas 23% 15 tahun setelah awitan penyakit. Di antara pasien SN yang selamat dari infeksi sebeelum era sulfonamide umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik (Nefrologi Anak:350).

1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan umum : Setelah membaca makalah ini mahasiswa dapat memahami apa yang dimaksud dengan sindroma nefrotik dan rencana asuhan keperawatannya.
1.2.2 Tujuan khusus : Setelah membaca makalah ini mahasiswa dapat :
 Menjelaskan definisi sindroma nefrotik
 Menjelaskan etiologi sindroma nefrotik
 Menjelaskan manesfesatasi klinis sindroma nefrotik
 Menjelaskan komplikasi sindroma nefrotik
 Menjelaskan tentang penatalaksanaan sindroma nefrotik
 Menjelaskan patofisiologi dan pnp dari sindrom nefrotik
 Melakukan rencana asuhan keperawatan pda anak dengan sindroma nefrotik

1.3 RUMUSAN MASALAH
 Apa definisi sindroma nefrotik?
 Apa etiologi sindroma nefrotik?
 Apa manifestasi klinis sindroma nefrotik?
 Bagaimana penataklaksanaan sindroma nefrotik?
 Bagaimana patofisiologi dan pnp dari sindroma nefrotik?
 Bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien dengan sindroma nefrotik?

BAB II
KONSEP TEORI
2.1 DEFINISI
Sindroma nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membrane glomerolus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinarius yang massif (Wong, Donna. L. 2003. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik Ed. 4). Sindroma nefrotik merupakan keadaan klinis yang meliputi proteinuria massif, hipoalbuminemia, hiperlipemia, dan edema (Wong, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 2). Sindroma nefrotik ditandai oleh proteinurea massif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Insiden tertinggi pada usia 3-4 tahun, rasio lelaki dan perempuan 2:1 (Kapita Selekta Kedokteran jilid 2.fkui,2000) Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkn oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema (Suriadi & Rita Yulianni,2001)
2.2 ETIOLOGI
Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini di anggap suatu penyakit auto immune. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-anti bodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
1. Sindroma nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternotetal.
Resisten terhadap semua pengobatan
Gejalanya adalah edema pada masa neonatus .
Pengcangkokan ginjal dalam masa neonatus telah dicoba tetapi tidak berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindroma nefrotik sekunder disebabkan oleh :
a) Malaria kuartana atau parasit lain
b) Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid
c) Glomerulonefritis akut, glumerulonefritis kronis, thrombosis vena renalis
d) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamain, garam, emas , sengatan lebah, racun oak, air raksa.
e) Amilodosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano proliferative hipokomplementemik

3. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
Berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. membagi dalam empat golongan yaitu:
1. Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop electron tampak foot processus sel terpadu. Dengan cara imunofluoresensi kternyata tidak terdapat IgG atau immunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak dari pada orang dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain.
2. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang terrsebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik
3. Glomerulonefritis proliferative.
a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik
Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama.
b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening).
Terdapat poliferasai sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
c. Dengan bulan sabit (crescent)
Terdapat poliferasi sel mesangial dan poliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan visceral.
Prognosis buruk.
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif.
Proliferasi sel mesengial dan penempatan fibrin yang meneyerupai membrana basalais di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah.
e. Lain-lain.
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.

4. Glomerulosklerosis fokal segmentalis.
Pada kelainan ini yang menyolok glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus.
Prognosis buruk.

2.3 MANIFESTASI KLINIS
1) Retensi cairan edema, edema biasanya terjadi pada muka (mata), dada , perut, tungkai dan genetalia. Biasanya lunak dan cekung bila ditekan (piting)
2) Penurunan jumlah urine–urine gelap, berbuih atau berbusa
3) Anoreksia (nafsu makan menurun)
4) Berat badan meningkat
5) Gagal tumbuh kembang & pelisutan otot (jangka panjang)
6) Malaise
7) Diare karena edema mukosa
8) Kulit pucat

2.4 KOMPLIKASI
1) Penurunan volume intravakular (syok hipovolemik)
2) Kemampuan koagulasi yang berlebihan (thrombosis vena)
3) Perburukan pernafasan (berhubungan dengan retensi cairan)
4) Kerusakan kulit
5) Infeksi sekunder, trauma infeksi kulit
6) Peritonitis (berhubungan dengan asites)
7) Efek samping steroid yang tidak diinginkan

2.5 PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan medis untuk sindom nefrotik mencakup komponen perawatan berikut ini:
1) Pemberian kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2 mg/kg/per hari sesuai program
2) Penggantian protein (dari makanan atau 25% albumin)
3) Pengurangan edema melalaui terapi diuretic dan restriksi narium (diuretic hendaknya dilakukan secara cermat untuk mencegah terjadinya penurunan volume intravaskuler, pembentukan thrombus dan ketidakseimbangan elektrolit)
4) Rumatan keseimbangan elektrolit
5) Inhibitor enzim pengkonverensi–angiotensin (menurunkan banyaknya protein–uria pada glomerulonefritis membrosa)
6) Agens pengalkilasi (sitotoksik) – klorambusil dan siklofostamid (untuk sindroma nefrotik tergantung steroid dan pasien yang seering mangalami kekambuhan)
7) Obat nyeri (untuk mangatasi ketidaknyamanan berhubungan dengan edema dan terapi invasive)
8) Antibiotic untuk mencegah infeksi
9) Terapi albumin jika oral dan output urin kurang
10) Pembatasan sodium jika anak hypertensi

2.6 PATOFISIOLOGI
Meningkatkan permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria menyababkan hypoalbuminemia. Dengan menurunya albumin, tekanan osmotic plasma menurun sehingga cairan intravascular berpindah ke dalam interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravascular berkurang sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.
Menurunya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi rennin angiotensin dan peningkatan sekresi antidiuretik hormone (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi natrium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan cholesterol dan triglyceride serum akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin atau penurunan ontotik plasma.
Adanya hyperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak dalam urine (lipiduria).
Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan di sebabkan oleh karena hypoalbunemia, hyperlipidemia atau difesiensi seng.

BAB III
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Identitas
 Umur : lebih sering pada anak–anak usia antara 3–4 tahun
 Jenis kelamin : lebih banyak menyerang pria dengan perbandingan presentase pria : wanita – 2 :1
b. Keluhan utama
 Edema atau sembab, biasanya pada daerah mata, dada, perut, tungkai, dan genitalia
 Malaise
 Sesak nafas
 Kaki terasa berat dan dingin karena adanya edema
 Sakit kepala
 Diare
c. Riwayat penyakit sekarang
 Piting edema  cekung dan lunak bila ditekan di daerah sekitar edema
 Urine sedikit, gelap dan berbusa
 Berat badan meningkat
 Kulit pucat
 Diare
 Sesak nafas
 Malaise
d. Riwayat penyakit dahulu
Anak pernah menderita penyakit infeksi ginjal (glumerulonefritis) sebelumnya
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit ini atau diabetes mellitus
f. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
 Terjadi peningkatan berat badan karena adanya edema
 Sering tidak masuk sekolah sehingga prestasi belajarnya terganggu
g. Riwayat nutrisi
Diet kaya protein terutama protein hewani
h. Dampak hospitalisasi
 Perpisahan
 Lingkungan baru
i. Pemeriksaan fisik
 Kesadaran : disorentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma
 Kepala : edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas ureum
 Dada : pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
 Perut : adanya edema anasarka (asites)
 Ekstrimitas : edema pada tungkai.
 Kulit : sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
 Tanda vital : peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam (kusmaul), dyspnea
j. Pemeriksaan penunjang
1. UJI URINE
 Protein urine  meningkat
 Urinalis  cast hialin dan granular, hematuria
 Dipstick urine  positif untuk protein dan darah
 Berat jenis urine  meningkat
2. UJI DARAH
 Albumin serum  menurun
 Kolesterol serum  meningkat
 Hemoglobin dan hematokrit  meningkat (hemokonsentrasi)
 Laju endap darah (LED)  meningkat
 Elektrolit serum  bervariasi dengan keadaan penyakit per orang
3. UJI DIAGNOSTIK
Biopsy ginjal merupakan uji diagnostic yang tidak dilakukan secara rutin
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air dan natrium
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan kehilangan protein
c. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang menurun
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan (malaise)
g. Kecemasan pada anak atau keluarga berhubungan dengan hospitalisasi pada anak
h. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan
i. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan gangguan fungsi pernafasan
j. Nyeri, gangguan rasa nyaman berhubungan dengan asites

3. INTERVENSI
a. Resiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air dan natrium
TUJUAN : pasien mendapatkan volume cairan yang tepat
KRITERIA HASIL : anak mendapatkan cairan tidak lebih dari yang ditentukan

NO. INTERVENSI RASIONAL
1 Catat masukan dan pengeluaran cairan
(intake dan output cairan &elektrolit) Jumlah aliran harus sama atau lebih dari jumlah yang dimasukkan. keseimbangan positif menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih lanjut
2 Timbang berat badan pasien Berat badan adalah indicator akurat status volume cairan .kesesimbangan cairan positif dengan peningkatan berat badan menunjukkan retensi cairan.
4 Berikan duretik sesuai instruksi Pemberian diuretic dimaksudkan untuk memberikan penghilangan sementara dari edema
5 Atur masukan cairan dengan cermat Anak tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang ditentukan
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravascular) berhubungan dengan kehilangan protein
TUJUAN : bukti kehilangan cairan intravascular atau syok hipovolemik yang ditunjukkan pasien minimum atau tidak ada
KRITERIA HASIL : bukti kehilangan cairan intravaskuler atau syok hipovolemik yang ditunjukan anak minimum atau tidak ada
NO. INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau TTV Pengukuran TTV bertujuan untuk mendeteksi bukti fisik penipisan cairan
2. Kaji kualitas dan frekuensi nadi Tanda syok hipovolemik adalah frekuensi nadi yang meningkat
3. Laporkan adanya penyimpangan dari normal Bila ada penyimpangan maka pengobatan dapat segera dilakukan
c. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh
TUJUAN : pasien bisa mempertahankan integritas kulit
KRITERIA HASIL : kulit anak tidak menunjukan kemerahan dan iritasi

NO. INTERVENSI RASIONAL
1. Atur atau ubah posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi Mobilisasi tempat tidur setiap 2 jam atau sesuai kondisi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya dekubitus
2. Pertahanan bebersihan tubuh anak setiap hari dan pengalas tempat tidur Menjaga kebersihan tubuh anak dan pengalas menegah kemudahan gesekan atau trauma
3. Hindari pakaian yang ketat Pakaian yang terlalu ketat dapat menyebabkan area tertekan dan bisa menyebabkan dekubitus
4. Gunakan lotion bila kulit kering Lotion dapat menjaga kelembaban kulit
d. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang menurun
TUJUAN : tidak menunjukan bukti infeksi
KRITERIA HASIL : - Anak dan keluarga menerapkan praktik sehat yang baik
- Anak tidak menunjukan bukti – bukti infeksi

NO. INTERVENSI RASOINAL
1. Gunakan teknik mencuci tangan yang baik pada pasien dan staf Menurunkan resiko kontaminasi silang
2. Kaji integritas kulit Ekskoriasis akibat gesekan dapat menjadi infeksi sekunder
3. Pantau TTV Demam merupakan bukti awal infeksi. Demam disertai peningkaan nadi dan pernafasan adalah tanda peningkatan laju metabolic dari proses inflamasi
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan
TUJUAN : pesien mendapatkan nutrisi optimal
KRITERIA HASIL : anak mengkonsumsi jumlah makanan bernutrisi yang adekuat

NO. INTERVENSI RASIONAL
1. Beri makanan sedikit tapi sering Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik atau menurunkan peristaltic
2. Berikan makanan special(yang disukai anak) dan dengan cara yang menarik Merangsang nafsu makan anak sehingga anak mau makan
3. Tawarkan perawatan mulut sering atau olesin dengan gliserin atau berikan permen diantara makan Membrane mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejukkan, meminyaki dan membantu menyegarkan rasamulut yang tidak nyaman. Larutan gliserin diberikan supaya bibir tidak pecah – pecah dan kering
4. Puji anak atas apa yang mereka makan Pujian dapat berupa motivasi agar anak mau makan.
5. Libatkan anak dalam pemilihan makanan Anak dapat memilih makanan sesuai dengan yang diingginkan.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan (malaise)
TUJUAN : pasien mendapat istirahat yang adekuat
KRITERIA HASIL : - Anak melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuan
- Anak mendapatkan istirahat dan tidur yang adekuat

NO. INTERVENSI RASIONAL
1. Instruksikan anak untuk istirahat bila ia mulai merasa lelah Mencegah kelelahan berlebih dan menyimpan energy untuk penyembuhan.
2. Berikan bantuan dalam aktivitas sehari-hari dan ambulasi Mengubah energy memungkinkan berlanjutnya aktivitas yang dibutuhkan /normal ,memberikan keamanan pada pasien
g. Kecemasan pada anak/keluarga berhubungan dengan hospitalisasi pada anak
TUJUAN : keluarga menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah sakit
KRITERIA HASIL : keluarga mengenal lingkungan rumah sakit
INTERVENSI RASIONAL
1. Kenalkan anak dan keluarga pada anggota staf / perawat Meminimalkan persepi negatif anak atau keluarga pada perawat
2. Berikan penjelasan tentang syndrome nefrotik, perawatan dan pengobatan Anak atau keluarga mengerti tentang proses perjalanan penyakit, perawatan dan pengobatan sehingga kecemasan klien berkurang
3. Berikan aktivitas bermain yang sesuai dengan kondisi anak Meminimalkan stress pada anak dan tidak menghambat proses tumbuh kembang anak
4. Ajarkan pada orang tua untuk membantu perawatan pada anaknya Meminimalkan rasa kehilangan

h. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan
TUJUAN : pasien mengekspresikan perasaan dan masalah
KRITERIA HASIL : -anak mendiskusikan perasaan dan masalah
-anak mengikuti aktivitas yang sesuai dengan minat dan kemampun

NO. INTERVENSI RASIONAL
1. Gali perasaan dan masalah mengenai penampilan Menggali perasaan membantu pasien mulai menerima kenyataan dan realitas.
2. Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka. Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien/ orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.
3. Dorong sosialisasi dengan individu tanpa infeksi aktif Membantu pasien tetap berhubungan dengan linkungan dan realitas.
i. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan gangguan fungsi pernafasan.
TUJUAN : pasien menunjukkan fungsi pernafasan normal
KRITERIA HASIL : -anak beristirahat dan tidur dengan tenang
-Pernafasan tidak sulit
-anak pernafasan tetap dalam batas normal

NO. INTERVENSI RASIONAL
1. Posisikan untuk efisiensi ventilasi yang maksimum Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
2. Atur aktifitas untuk memungkinkan penggunaan energy yang minimal, istirahat, dan tidur. Menurunkan konsumsi/ kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
3. Hindari pakaian yang ketat. Pakaian yang terlalu ketat dapat menyebabkan kurang efisiennya ventilasi
4. Berikan oksigen tambahan yang sesuai Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi.
j. Nyeri, gangguan rasa nyaman berhubungan dengan asites.
TUJUAN : individu menyatakan peredaan setelah suatu tindakan peredaan yang memuaskan yang dibuktikan oleh hilangnya asites.
KRITERIA HASIL : -meningkatkan kenyamanan pasien
-melaporkan nyeri hilang/ terkontrol
NO. INTERVENSI RASIONAL
1 Izinkan pasien untuk memulai posisi yang nyaman Menurunkan tegangan abdomen dan meningkatkan rasa control
2 Berikan tindakan nyaman dan aktifitas senggang Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping
3 Berikan duretik sesuai instruksi Pemberian diuretic dimaksudkan untuk memberikan penghilangan sementara dari edema sehingga asites berkurang.

4. IMPLEMENTASI
a. Resiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air dan natrium
• Mencatat masukan dan pengeluaran cairan
• Menimbang berat badan pasien
• Memberikan diuretik
• Mengatur masukan
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravascular) berhubungan dengan
kehilangan protein
• Memantau TTV
• Mengkaji kualitas dan frekuensi nadi
• Melaporkan adanya penyimpangan dari normal
c. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh
• Mengatur mengubah posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi
• Mempertahankan kebersihan tubuh anak setiap hari dan pengalas tempat tidur
• Menghindari pakaian yang ketat
• Menggunakan lotion bila kulit kering
d. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang menurun
• Menggunakan teknik mencuci tangan yang baik pada perawat dan staf
• Mengkaji integritas kulit
• Memantau TTV
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan
• Memberikan makan sedikit tapi sering
• Memberikan makanan special (yang disukai anak) den dengan cara menarik
• Menawarkan perawatan mulut sering atau olesi dengan larutan gliserin atau memberikan permen diantara makan
• Memberi pujian atas apa yang mereka makan
• Melibatkan anak dalam memilih makanan
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan (malaise)
• Menginstruksikan anak untuk istirahat bila ia mulai merasa lelah
• Menberikan bantuan dalam aktivitas sehari-hari dan ambulasi
g. Kecemasan pada anak atau keluarga berubungan dengan hospitalisasi pada anak
• Mengenalkan anak dan keluarga pada anggota-anggota staf atau perawat
• Memberikan penjelasan tentang syndrome nefrotik, perawatan, dan pengobatan
• Memberikan aktifitas bermain yang sesuai dengan kondisi anak
• Mengajakan pada orang tua untuk membantu perawatan pada anaknya
h. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan
• Memberikan penjelasan pada anak dan keluarga tentang perubahan yang dialami.
• Memberi dukungan positif dalam menyikapi penyakit yang diderita pada anak.
i. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan gangguan fungsi pernafasan
• Memberikan oksigenasi.
• Meberikan posisi yang adekuat untuk efisieni ventilasi.

j. Nyeri, gangguan rasa nyaman berhubungan dengan asites
• Memberikan obat analgesic seperlunya.
• Menggunakan cara-cara nonfarmakologik yang sesuai untuk mengurangi nyeri.

PERENCANAAN PEMULANGAN (Discharge Planning)
 Ajarkan orang tua untuk mengetahui pemeriksaan urine
 Ajarkan orang tua untuk mencatat berat badan anak setiap hari
 Ajarkan memonitor tekanan darah
 Berikan penjelasan terapi yang diberikan (diuretic atau steroid)
 Ajarkan pada orang tua dan catat bila ada perkembangan baru misalnya demam dan lakukan control ulang
 Ajarkan untuk mencatat intake dan output cairan

5. EVALUASI
a. Fungsi ginjal anak membaik yang terlihat dari tidak adanya tanda-tanda dan gejala klinis
b. Tingkat aktivitas anak sesuai dengan usia
c. Anak tidak menunjukkan dan tanda dan gejala infeksi

BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Ginjal merupakam salah satu organ penting dalam system urinia. Sedangkan sindroma nefrotik merupakan salah satu penyakit kelainan pada ginjal. Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbunemia, hyperlipedemia dan edema. Penyebab sindroma nefrotik belum diketahui secara pasti. Namun para ahli telah membagi dalam beberapa etiologi.
4.2. SARAN
Apabila terdapat gejala-gejala klinis pada anak seperti edema di waktu pagi, anak segera diperiksakan ke petugas-petugas kesehatan terdekat untuk mengetahui apakah anak menderita sindrom nefrotik dan dapat mendapat pertolongan secara dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Betz, Cecily. L dan Linda A. Sowder. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. EGC: Jakarta.
2. Doengus, Marilyn. E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan.EGC: Jakarta.
3. Linda Juall Carpenito-moyet. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. EGC: Jakarta.
4. Masjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Media Aesculapius FKUI :Jakarta.
5. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. ECG: Jakarta.
6. Rosa M. Saccharin. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatric edisi 2. EGC; Jakarta
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. FKUI: Jakarta.
8. Suriadi & Rita Yulianni. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak.PT. Fajar Interpratama: Jakarta
9. Wirya, IGN Wila. 1993. Nefrologi Anak. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
10. Wong, Donna. L. 2003. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik Edisi 4. EGC: Jakarta.
11. Wong, Donna L dkk. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatric Vol 2. EGC: Jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEJANG DEMAM

BAB I
PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG
Kejang merupakan mal fungsi singkat pada system listrik otak dan menjadi karena cetusan atau pelepasan muatan neuron kortikal. Manifestasi kejang di tentukan oleh lokasi asal gangguan dan dapat meliputi keadaan tidak sadar atau perubahan kesadaran ; gerakan infolunter ;dan perubahan dalam persepsi, dan postur tubuh. Kejang merupakan difungsi neurologic yang paling sering terlihat pada anak – anak dan dapat terjadi dengan berbagai keadaan yang melibatkan SSP.
Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.Menurut Consensus Statement on Febrile Seizure (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. ( Mansjoer, 2000 : 434 )
Kejang demam merupakan kelainan neurolis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. ( Millichap, 1968).Kejang ( konvulsi ) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks cerebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran, aktifitas motorik dan atau gangguan fenomena sensori ( Doenges, 1993 : 259 )

I.2 TUJUAN
Umum : Untuk memenuhi tugas keperawatan anak
Khusus : mengetahui pengertian, etiologi, gejala klinis, patofisiologi serta memahami dan mampu menerapkan asuhan keperawatan yang tepat pada anak dengan kejang

I.3 RUMUSAN MASALAH
• Berdasarkan pada latar belakang di atas “ bagaimana cara penanganan pada anak dengan kejang demam?
• Apa definisi kejang demam?
• Apa etiologi kejang demam?
• Apa manifestasi klinis kejang demam?
• Bagaimana tentang penatalaksanaan kejang demam?
• Bagaimana patofisiologi dan PNP kejang demam?
• Bagaimana melakukan Asuhan keperawatan pada klien dengan kejang demam?

BAB II
KONSEP DASAR

II.I Pengertian
Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh( suhu rectal lebih dari 38°C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizure (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. ( Mansjoer, 2000 : 434 )
Kejang demam merupakan kelainan neurolis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. ( Millichap, 1968).
Kejang ( konvulsi ) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks cerebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran, aktifitas motorik dan atau gangguan fenomena sensori ( Doenges, 1993:259 ).
Livingston ( 1954, 1963 ) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan ; yaitu :
1. Kejang demam sederhana ( Simple Febrile Convultion )
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam ( Epilepsy Triggered off by Fever )
Di Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FKUI – RSCM Jakarta, kriteria Livingston tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosa kejang demam sederhana ialah :
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang, normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

II.2 ETIOLOGI
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang – kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan demam. (Mansjoer, 2000 : 434 ).
Gangguan kejang demam mempunyai berbagai penyebab yang beragam [ mis, tumor, infeksi, neoplasma ]. Sebagian besar gangguan bersifat idiopatik. Walaupun penyebab epilepsy idiopatik tidak di ketahui, factor – factor genetic dengan cara tertentu dapat mengubah ambang kejang sehingga mempengaruhi cetusan neuron. Gangguan kejang juga dapat merupakan gagguan yang di dapat akibat cedera otak pada masa prenatal, perinatal , atau pasca natal, cedera ini dapat disebabkan oleh tauma, hipoksia, infeksi, toksin eksogen atau endogen dan beberapa factor lain. Gangguan bio kimia [hipoglikemja, hipokalsemia, dan defisiensi nutrisi tertentu] dapat menimbulkan aktifitas kejang.
Aktivitas kejang dipercaya terjadi karena cetusan atau pelepasan muatan listrik yang sepontan. Kondisi ini di picu oleh sekelompok sel yang hipereksitabel, kelompok sel ini dinamakan focus epiletogenik. Sel –sel ini meningkatkan eksitabilitas perangsangan listrik sebagai reaksi terhadap stimulus fisiologik seperti dehidrasi selular, abnormalitas kadar glukosa darah, gangguan keseimbangan elektrolit, keletihan, stress emosional dan gangguan endokrin

II.3 PATOFISIOLOGI
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1° C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 % - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dalam waktu yang tingkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dari akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak yang menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40° C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.

II.4 MANIFESTASI KLINIK
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8 % berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.
Kejang dapat diikuti hemiparisis sementara( hemiparises Todd ) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparises yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama ( Mansjoer, 2000 : 435).

II.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan cairan cerebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi- bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
Elektroensefalografi ( EEG ) ternyata kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang di kemudian hari. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumberi infeksi.

II.6 PENAKTALAKSANAAN
a. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres dingin dan pemberian antipiretik. Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrakranial.
b. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
c. Pengobatan Profilaksis.
1. Profilaksis Intermiten saat demam
Diberikan Diazepam secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intra rektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg bila BB <> 10 kg setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5°C.
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari.
Berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15 – 40 mg/kg BB/hari.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM

3.1 Pengkajian
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah :
a. Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot

b. Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.

c. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).

d. Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktifitas kejang.

e. Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.

f. Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.

g. Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.

3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Carpenito ( 1999 : 468 ):
a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.
c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.
d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan dan aktifitas kejang selama episode kejang.

3.3 Rencana Keperawatan
Menurut Carpenito ( 1999 ) , rencana keperawatannya meliputi :
a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pol tidak efektif berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
Tujuan;setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi relaksasi lidah sekunder
kriteria hasil ; tidak terjadi pernafasan kuping hidung, sianosis, dispnea, ronchi
Intervensi atau rasional
1) Baringkan klien di tempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasang tongue spatel.
2) Singkirkan benda – benda yang ada disekitar pasien, lepaskan pakaian yang mengganggu pernafasan ( misal : gurita ).
3) Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2 dan obat anti kejang
5) Anjurkan pasien untuk mengosongkan benda atau zat tertentu atau gigi palsu atau alat yang lain
6) Meningkatkan aliran atau drainase secret mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
7) Siapkan untuk melakukan intubasi jika ada indikasi
8) Berikan tambahan oksigen atau fentilasi manual sesuai kebutuhan sesuai fese post iktal.

b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.
Tujuan ; setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak dapat resiko cedera yang berhubungan dengan gerak tonik atau klonik
Kriteria hasil ; tidak terjai cedera pada periode kejang
Intervensi atau rasional ;
1) Jauhkan benda – benda yang ada disekitar klien.
2) Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang, menyumbat jalan nafas.
3) Awasi klien dalam waktu beberapa lama selama / setelah kejang.
4) Observasi tanda – tanda vital setelah kejang.
5) Kolaborasi dnegna dokter untuk pemberian obat anti kejang.
6) Pantau sel darah atau elektrolit

c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan;setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi peningkatan suhu atau hipertermi
Kriteria hasil; tidak terjadi shock, dehidrasi

Intervensi :
1) Observasi tanda vital tiap 4 jam atau lebih.
2) Kaji saat timbulnya demam.
3) Berikan penjelasan pada keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan.
4) Anjurkan pada keluarga untuk memberikan masukan cairan 1,5 liter / 24 jam.
5) Beri kompres dingin terutama bagian frontal dan axila.
6) Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan dan obat antipiretik.
7) Pantau volume cairan atau elektrolit

d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan, aktifitas, kejang selama perawatan.
Tujuan ; setelah dilakukan tindakan keperawatan keluarga mampu mengetahui penatalaksanaan program terapeutik
Kriteria hasil; tidak terjadi komplikasi atau infeksi penyakit baru

Intervensi :
1) Jelaskan pada keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan aktifitas selama kejang.
2) Jelaskan pada keluarga tentang faktor – faktor yang menjadi pencetus timbulnya kejang, misal : peningkatan suhu tubuh.
3) Jelaskan pada keluarga, apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama walaupun diberikan obat, segera bawa klien ke rumah sakit terdekat.
4) Diskusi antar perawat dengan keluarga
5) Diskusi perawat , keluarga, paramedis lain
3.4 Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan klien dengan kejang demam adalah mencegah / mengendalikan aktifitas kejang, melindungi klien dari cedera, mempertahankan jalan nafas dan pemahaman keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan aktifitas selama kejang.

BAB IV
PENUTUP

4.I KESIMPULAN
Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 38°C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizure (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. ( Mansjoer, 2000 : 434 )
Kejang demam merupakan kelainan neurolis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. ( Millichap,1968).Kejang (konvulsi ) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks cerebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran, aktifitas motorik dan atau gangguan fenomena sensori ( Doenges, 1993:259).

DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI, 1985. Jilid 2
Donna L. wong, Keperatan Pediatric, EGC, edisi 4
Donna L, wong, Marilyn hockenbery-eaton ,david Wilson, Marilyn L. winkelstein, patricia schwartz

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK SEPSIS NEONATORUM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Infeksi merupakan salah satu penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. Sepsis berhubungan dengan angka kematian 13% - 50% dan kemungkinan morbiditas yang kuat pada bayi yang bertahan hidup. (Fanaroff & Martin, 1992). Infeksi pada neonatus di negeri kita masih merupakan masalah yang gawat. Di Jakarta terutama di RSCM, infeksi merupakan 10 – 15% dari morbidilitas perinatal.
Infeksi pada neonatus lebih sering di temukan pada BBLR. Infeksi lebih sering ditemukan pada bayi yang lahir di rumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir di luar rumah sakit. Dalam hal ini tidak termasuk bayi yang lahir di luar rumah sakit dengan cara septik.
Sepsis neonatus, sepsis neonatorum, dan septikemia neonatus merupakan istilah yang telah digunakan untuk menggambarkan respon sistemik terhadap infeksi pada bayi baru lahir. Ada sedikit kesepakatan pada penggunaan istilah secara tepat, yaitu apakah harus dibatasi pada infeksi bakteri, biakan darah positif, atau keparahan sakit. Kini, ada pembahasan yang cukup banyak mengenai definisi sepsis yang tepat dalam kepustakaan perawatan kritis.

1.2 Tujuan
• Untuk memenuhi tugas keperawatan anak.
• Untuk mengetahui definisi tentang sepsis neonatorum.
• Untuk mengetahui perjalanan penyakit dari sepsis neonatorum sehingga dapat memunculkan masalah-masalah keperawatan.
• Untuk mempelajari askep sepsis neonatorum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sepsis adalah sindrome yang di karakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah, yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik. (Marilynn E. Doenges, 1999).
Sepsis adalah bakteri umum pada aliran darah. (Donna L. Wong, 2003).
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan. (Bobak, 2004).
Sepsis adalah infeksi bakteri generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan. (Mary E. Muscari, 2005).
Neonatus sangat rentan karena respon imun yang belum sempurna. Angka mortalitas telah berkurang tapi insidennya tidak. Faktor resiko antara lain, prematuritas, prosedur invasif, penggunaan steroid untuk masalah paru kronis, dan pajanan nosokomial terhadap patogen. Antibodi dalam kolostrum sangant efeektif melawan bakteri gram negatif, oleh sebab itu, menyusui ASI memberi manfaat perlindungan terhadap infeksi.

2.2 Etiologi
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc (1961) membaginya menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Infeksi antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin.

2. Infeksi intranatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi dari pada cara lain. Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam) memunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh (misalnya ada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina).
3. Infeksi pascanatal
Infeksi ini terjadi sesudah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau akibat infeksi silang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di bagi menjadi tiga kategori :
• Faktor maternal : ruptur selaput ketuban yang lama, persalinan prematur, amnionitis klinis, demam maternal, manipulasi berlebihan selama proses persalinan, dan persalinan yang lama.
• Faktor lingkungan : yang dapat menjadi faktor predisposisi bayi selama sepsis meliputi, tetapi tidak terbatas pada, buruknya praktik cuci tangan dan teknik perawatan, kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai pemasangan kateter, selang endootrakea, teknologi invasif, dan pemberian susu formula.
• Faktor penjamu : jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat lahir rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan diri penjamu. (Bobak, 2004)
Bakteri, virus, jamur, dan protozoa (jarang) dapat menyebabkan sepsis neonatus. Penyebab yang paling sering dari sepsis mulai awal adalah streptokokus group B (SGB) dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kemih ibu. Sepsi mulai akhir disebabkan oleh SGB, virus herpes simpleks (HSV), entero virus dan E. Coli K1. Pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, candida dan stafilokokus koagulase negatif (CONS), merupakan patogen yang paling umum mulai akhir. (Nelson, hal. 653).

2.3 Patofisiologi
Neonatus sangat rentan terhadap infeksi sebagai akibat rendahnya imunitas non spesifik (inflamasi) dan spesifik (humoral), seperti rendahnya fagositosis, keterlambatan respon kemotaksis, minimal atau tidak adanya imunoglobulin A dan imunoglobulin M (IgA dan IgM), dan rendahnya kadar komplemen.
Sepsis pada periode neonatal dapat diperoleh sebelum kelahiran melalui plasenta dari aliran darah maternal atau selama persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi.
Sepsis awal (kurang dari 3 hari) didapat dalam periode perinatal, infeksi dapat terjadi dari kontak langsung dengan organisme dari saluran gastrointestinal atau genitourinaria maternal. Organisme yang paling sering menginfeksi adalah streptokokus group B (GBS) dan escherichia coli, yang terdapat di vagina. GBS muncul sebagai mikroorganisme yang sangat virulen pada neonatus, dengan angka kematian tinggi (50%) pada bayi yang terkena Haemophilus influenzae dan stafilokoki koagulasi negatif juga sering terlihat pada awitan awal sepsis pada bayi BBLSR.
Sepsis lanjut (1 sampai 3 minggu setelah lahir) utamanya nosokomial, dan organisme yang menyerang biasanya stafilokoki, klebsiella, enterokoki, dan pseudomonas. Stafilokokus koagulasi negatif, baiasa ditemukan sebagai penyebab septikemia pada bayi BBLR dan BBLSR. Invasi bakterial dapat terjadi melalui tampatseperti puntung tali pusat, kulit, membran mukosa mata, hidung, faring, dan telinga, dan sistem internal seperti sistem respirasi, saraf, perkemihan, dan gastrointestinal.
Infeksi pascanatal didapat dari kontaminasi silang dengan bayi lain, personel, atau benda – benda dilingkungan. Bakteri sering ditemukan dalam sumber air, alat pelembab, pipa wastafel, mesin penghisap, kebanyakan peralatan respirasi, dan kateter vena dan arteri terpasang yang digunakan untuk infus, pengambilan sampel darah, pemantauan tanda vital. (Donna L. Wong, 2009).
Proses patofisiologi sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complemen cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated intravaskular coagulation (DIC) dan kematian.( Bobak, 2004).
Penderita dengan gangguan imun mempunyai peningkatan resiko untuk mendapatkan sepsis nosokomial yang serius. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis gram negatif dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT). Hambatan kerja FNT oleh antibodi monoklonal anti-FNT sangat memperlemah manifestasi syok septik. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan dalam aliran darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis lebih lanjut.
Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang memicu respon fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba. FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan tonus vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan antara perfusi dan kenaikan kebutuhan metabolik jaringan.
Syok didefinisikan dengan tekanan sistolik dibawah persentil ke-5 menurut umur atau didefinisikan dengan ekstremitas dingin. Pengisian kembali kapiler yanng terlambat (>2 detik) dipandang sebagai indikator yang dapat dipercaya pada penurunan perfusi perifer. Tekanan vaskuler perifer pada syok septik (panas) tetapi menjadi sangat naik pada syok yang lebih lanjut (dingin). Pada syok septik pemakaian oksigen jaringan melebihi pasokan oksigen. Ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh vasodilatasi perifer pada awalnya, vasokonstriksi pada masa lanjut, depresi miokardium, hipotensi, insufisiensi ventilator, anemia. (Nelson, 1999).
Septisemia menunjukkan munculnya infeksi sistemik pada darah yang disebabkan oleh penggandaan mikroorganisme secara cepat atau zat-zat racunnya, yang dapat mengakibatkan perubahan psikologis yang sangat besar. Zat-zat patogen dapat berupa bakteri, jamur, virus, maupun riketsia. Penyebab yang paling umum dari septisemia adalah organisme gram negatif. Jika perlindungan tubuh tidak efektif dalam mengontrol invasi mikroorganisme, mungkin dapat terjadi syok septik, yang dikarakteristikkan dengan perubahan hemodinamik, ketidakseimbangan fungsi seluler, dan kegagalan sistem multipel. (Marilynn E. Doenges, 1999).

2.4 Manifestasi klinis
• Umum : panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.
• Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia (nafsu makan buruk), muntah, diare, hepatomegali.
• Saluran nafas : apneu, dispneu, takipneu, retraksi, nafas tidak teratur, merintih, sianosis.
• Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit lembab, hipotensi, takikardia, bradikardia.
• Sistem saraf pusat : iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, aktivitas menurun-letargi, koma, peningkatan atau penurunan tonus, gerakan mata abnormal, ubun-ubun membonjol.
• Hematologi : pucat, ptekie, purpura, perdarahan, ikterus.
• Sistem sirkulasi : pucat, sianosis, kulit dingin, hipotensi, edema, denyut jantung tidak beraturan. (Kapita Selekta, 2000).

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
A. Biodata
• Umur neonatus (0 – 28 hari)
• Jenis kelamin laki-laki
B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
• Panas
2. Riwayat Kehamilan
• Demam pada ibu (>37,9°C).
• Riwayat sepsis GBS pada bayi sebelumnya.
• Infeksi pada masa kehamilan.
3. Riwayat Persalinan
• Persalinan yang lama.
• Ruptur selaput ketuban yang lama (>18 jam).
• Persalinan prematur (<37 minggu).
4. Riwayat atau adanya faktor resiko
• Prematuritas/BBLR/BBLSR.
• Skor APGAR 5 menit rendah (<6).
• Jenis kelamin laki-laki (laki-laki 4 kali lebih sering terkena sepsis dari pada perempuan).
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
• Lemah, Koma.
2. Inspeksi
• Kepala: ubun-ubun membonjol.
• Muka: pucat, sianosis.
• Mata: gerakan mata abnormal.
• Kulit: ptekie.
3. Palpasi
• Distensi abdomen.
• Pemeriksaan ekstremitas: tremor, kejang.
5. Auskultasi
• Sistem pernafasan: nafas tidak teratur, merintih, takipneu.
6. Laboratorium
• Hitung darah lengkap (HDL).
Nilai HDL yang paling penting ialah hitung sel darah putih (SDP). Bayi yang mengalami sepsis biasanya menunjukkan penurunan nilai SDP, yakni <5000 mm3.
• Trombosit
Nilai normal 150.000 – 300.000 mm3. Pada sepsis nilai trombosit menurun.

• Kultur darah
Dilakukan dalam 24 – 48 jam untuk menjelaskan jumlah dan jenis bakteri yang ada dan kerentanannyaterhadap terapi antibiotika.
• Pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal (CSS)
Jumlah rata-rata leukosit di dalam CSS bayi baru lahir adalah sel/mm3 dan kisaran normal dapat mencapai 20 sel/mm3. Kadar protein CSF pada bayi cukup bulan adalah 90mg/dl dan 120 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pungsi lumbal traumatik dapat memberikan hasil yang tidak dapat diintepretasikan, karena penggunaan faktor koreksi yang berdasarkan pada jumlah eritrosit di dalam CSF dan di dalam cairan perifer sering tidak adekuat untuk menentukan jumlah leukosit dan kadar protein yang sebenarnya didalam CSS.
• Kultur urin
Urin untuk pemeriksaan aglutinasi lateks dan kultur juga dapat dilakukan.
• Rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.

3.2 Diagnosa
1. Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada reagulasi temperatur.
2. Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan nutrisi.
4. Resiko terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.
5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.
6. Resiko terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan permeabilitas kapiler.
7. Resiko terhadap gangguan pertukaran gas b/d edema pada paru-paru.
8. Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.
9. Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan lingkungan (nosokomial).
10. Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada diri anak).

3.3 Intervensi
1. Diagnosa : Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada reagulasi temperatur.
Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam bata normal, bebas dari kedinginan. Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan menggigil/diaforesis Suhu 38,9° - 41,1° C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Menggigil sering mendahului puncak suhu.
Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesuai indikasi. Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol. Dapat membantu mengurangi demam.
Kolaborasi
Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), asetaminofen (Tylenol). Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme, dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi.
Berikan selimut pendingin Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5° – 40° C pada waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.

2. Diagnosa : Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.
Kriteria Hasil : Meningkatkan fungsi usus mendekati normal.
Intervensi Rasional
Observasi frekuensi defekasi, karakteristik, dan jumlah. Diare sering terjadi akibat mikroba yang masuk kedalam usus.
Dorong diet tinggi serat dalam batasan diet, dengan masukan cairan sedang sesuai diet yang dibuat. Meningkatkan konsistensi feses. Meskipun cairan perlu untuk fungsi tubuh optimal, kelebihan jumlah mempengaruhi diare.
Bantu perawatan peringeal sering, gunakan salep sesuai indikasi. Berikan rendam pada pusaran air. Iritasi anal, ekskoriasi dan pruritus dapat terjadi karena diare.
Berikan obat sesuai indikasi. Untuk mengontrol frekuensi defekasi sampai tubuh mengalami perubahan yang lebih baik.

3. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan nutrisi.
Kriteria Hasil : Menunjukkan penambahan berat badan dan bebas dari tanda malnutrisi.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap hari, perhatikan tingkat energi, kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mulut, keinginan untuk makan/anoreksia. Memberikan kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari normal/dasar pasien dan mempengaruhi pilihan intervensi.
Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan berat badan saat penerimaan. Membuat data dasar, membantu dalam memantau keefektifan aturan terapeutik.
Kaji fungsi GI dan toleransi pada pemberian makanan enteral, catat bising usus, keluhan mual/muntah, ketidaknyamanan abdomen, adanya diare / konstipasi, terjadinya kelemahan dan takikardia. Karena pergantian protein dari mukosa GI terjadi kira-kira setiap 3 hari, saluran GI beresiko tinggi pada disfungsi dini dan atrofi dari penyakit dan malnutrisi.

4. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.
Kriteria Hasil : Menunjukkan perfusi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum, haluaran urinarius individu yang sesuai dan bising usus aktif.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pertahankan tirah baring, bantu dengan aktivitas perawatan. Menurunkan beban kerja miokard dan konsumsi O2, maksimalkan efektivitas dari perfusi jaringan.
Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi,dan perubahan pada tekanan denyut. Hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah, menstimulasi pelepasan, atau aktivasi dari substansi hormonal maupun kimiawi yang umumnya menghasilkan vasodilatasi perifer, penurunan tahapan vaskuler sistemik dan hipovolemia relatif.
Pantau frekuensi dan irama jantung. Bila terjadi takikardi, mengacu pada stimulasi sekunder sistem saraf simpatis untuk menekankan respon dan untuk menggantikan kerusakan pada hipovolumia relatif dan hipertensi.
Perhatikan kualitas/kekuatan dari denyut perifer Pada awal nadi cepat/kuat karena peningkatan curah jantung. Nadi dapat menjadi lemah/lambat karena hipotensi terus menerus, penurunan curah jantung, vasokonstriksi perifer jika terjadi status syok.

Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas. Perhatikan dispnea berat. Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon terhadap efek-efek langsung dari endotoksin pada pusat pernafasan di dalam otak, dan juga perkembangan hipoksia, stres dan demam. Pernafasan dapat menjadi dangkal bila terjadi insufisiensi pernafasan, menimbulkan resiko kegagalan pernafasan akut.
Catat haluaran urin setiap jam dan bertat jenisnya. Penurunan haluara urin dengan peningkatan berat jenis akan mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal yang dihubungkan dengan perpindahan cairan dan vasokonstriksi selektif.
Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkakan jaringan lokal, eritema. Stasis vena dna proses infeksi dapat menyebabkan perkembangan trombosis.
Catat efek obat-obatan, dan pantau tanda-tanda keracunan Dosis antibiotik masif sering dipesankan. Hal ini memiliki efek toksik berlebihan bila perfusi hepar/ ginjal terganggu.
Kolaborasi
Berikan cairan parenteral Untuk mempertahankan perfusi jaringan, sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan untuk mendukung volume sirkulasi.
Pantau pemeriksaan laboratorium. Perkembangan asidosis respiratorik dan metabolik merefleksikan kehilangan mekanisme kompensasi, misalnya penurunan perfusi ginjal dan akumulasi asam laktat.

5. Diagnosa : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.
Kriteria Hasil : Mempertahankan kulit utuh dan mengidentifikasi faktor-faktor resiko.
Intervensi Rasional
Ubah posisi sering di tempat tidur dan kursi. Rekomendasikan 10 menit latihan setiap jam dan lakukan rentang gerak. Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan gerak tulang sendi.
Gunakan jadwal rotasi dalam membalikkan pasien. Memberikan waktu lebih lama bebas dari tekanan, mencegah gerakan yang menimbulkan pengelupasan dan robekan yang dapat merusak jaringan rapuh.
Pertahankan agar sprei dan selimut tetap kering, bersih dan bebas dari kerutan, serpihan ataupun material lainnya yang dapat mengiritasi. Mengurangi abrasi kulit.
Berikan tambahan zat besi dan vitamin C. Membantu dalam penyembuhan/generasi seluler.

6. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan permeabilitas kapiler.
Kriteria Hasil : Mempertahankan volume sirkulasi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda vital dalam batas normal pasien, nadi perifer teraba, dan haluaran urin adekuat.
Intervensi Rasional
Mandiri
Catat/ukur pemasukan pengeluaran urin dan berat jenisnya
Penurunan haluaran urin dan berat jenis akan menyebabkan hipovolemia.
Pantau tekanan darah dan denyut jantung
Pengeluaran dalam sirkulasi volume cairn dapat mengurangi tekanan darah/CVP, mekanissme kompensasi awal dari takikardia untuk meningkatkan curah jantung dan meningkatkan darah sistemik.
Kaji membrane mukosa, turgor kulit dan rasa haus
Hipovolemia/cairan ruang ketiga akan memperkuat tanda-tanda dehidrasi.
Amati edema dependen/perifer pada sacrum, skurutum, punggung kaki Kehilangan cairan dari kompartemen vaskuler kedalam ruang interstitial akan menyebabkan edema jaringan.
Kolaborasi
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian cairan IV
Sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan untuk mengatasi hipovolemia relatif (vasodilatasi perifer), menggantikan kehilangan dengan meningkatkan permeabilitas kapiler (misalnya penumpukan cairan di dalam rongga peritoneal) dan meningkatkan sumber-sumber tak kasat mata (misalnya demam dan diaforesis).
Pantau nilai laboratorium Mengevaluasi perubahan di dalam hidrasi/viskositas darah. Peningkatan BUN akan merefleksikan dehidrasi, nilai tinggi dari BUN/Kr dapat mengindikasikan disfungsi/kegagalan ginjal.

7. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap ganggun pertukaran gas b/d edema pada paru-paru.
Kriteria Hasil : Mengoptimalkan pertukaran gas.
Intervensi Rasional
• Kaji pernafasan setiap jam, catat kualitas, irama, pola, kedalaman, dan otot penafasan.
• Kaji saluran nafas setiap hari.
• Kaji perubahan perilaku dan orientasi.
• Monitor ABC dan catat perubahan • Ubah posisi setiap 2 jam untuk bergerak dan drainase sekret. Tentukan posisi anak dalam posisi yang benar untuk mengoptimalkan pernafasan.
• Suction diperlukan untuk membersihkan sekrat.

8. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.
Kriteria Hasil : Tidak mengalami dispnea dan sianosis.
Intervensi Rasional
Pertahankan jalan nafas paten. Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman dengan kepala tempat tidur tinggi. Meningkatkan ekspansi paru-paru, upaya pernafasan.
Pantau frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori/ upaya untuk bernafas. Pernafasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres dan sirkulasi endotoksin. Hipoventilasi dan dispnea merefleksikan mekanisme kompensasi yang tidak efektif dan merupakan indikasi bahwa diperlukan dukungan ventilator.
Auskultasi bunyi nafas. Perhatikan krekels, mengi, area yang mengalami penurunan / kehilangan ventilasi. Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi adventisinius merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial. Etelektasis.
Catat munculnya sianosis sirkumoral. Menunjukkan oksigen sistemik tidak adekuat/pengurangan perfusi.
Selidiki perubahan pada sensorium, agitasi, kacau mental, perubahan kepribadian, delirium, koma. Fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenasi.
Berikan O2 tambahan melalui jalur yang sesuai, misalnya kanula nasal, masker. Diperlukan untuk mengoreksi hipoksemia dengan menggagalkan upaya/progresi asidosis respiratorik.
Tinjau sinar X dada. Perubahan menunjukkan perkembangan / resolusi dari komplikasi pulmonal, misalnya edema.

9. Diagnosa : Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan lingkungan (nosokomial).
Kriteria Hasil : Bebas dari infeksi nosokomial.
Intervensi Rasional
Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi. Dibutuhkan untuk melindungi pasien imunosupresi. Mengurangi resiko infeksi nosokomial.
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril. Mengurangi kontaminasi silang.
Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika memunngkinkan. Mengurangi jumlah lokasi yang dapat menjadi tempat masuk organisme.
Pantau kecenderungan suhu. Demam (38,5 – 40 C) disebabkan oleh efek dari endotoksin pada hipotalamus.
Dapatkan spesimen urine, darah, sputum, luka, jalur invasif sesuai petunjuk pewarnaan gram, kultur dan sensitivitas. Identifikasi terhadap portal entri dan organisme penyebab septisemia adalah penting bagi efektivitas pengobatan.

10. Diagnosa : Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada diri anak).
Kriteria Hasil : Keluarga bisa menerima keadaan yang dialami oleh anaknya.
Intervensi Rasional
Berikan penjelasan pada orang tua tentang kesehatan anak. Untuk mengurangi kecemasan yang dialami oleh orang tua.
Tinjau faktor resiko dan bentuk penularan/tempat masuk infeksi. Menyadari terhadap bagaimanan infeksi ditularkan akan memberikan informasi untuk merencanakan/melakukan tindakan protektif.
Dorong orang tua untuk memberikan perhatian yang lebih pada anak. Tujuan terapeutik pada anak maksimal.

3.4 Implementasi
• Mempertahankan tirah baring, membantu aktivitas perawatan.
• Memantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi,dan perubahan pada tekanan denyut.
• Memantau frekuensi dan irama jantung.
• Mengkaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas.
• Memantau suhu anak.
• Mencatat pemasukan dan pengeluaran urin.
• Memantau pemeriksaan laboratorium.
• Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril untuk mengurangi terjadinya infeksi nosokomial.

3.5 Evaluasi
• Suhu kembali normal.
• Berat badan meningkat.
• Perfusi jaringan normal, tidak mengalami dispnea dan sianosis.
• Tidak terjadi infeksi nosokomial.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada aliran darah bayi selam empat minggu pertama kehidupan. Penyebabnya dimulai pada infeksi antenatal, infeksi intranatal, infeksi postnatal.
Pemeriksaan untuk mendiagnosa adanya sepsis adalah hitung darah lengkap (HDL), trombosit, kultur darah, pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal (CSS), kultur urin, rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.

4.2 Saran
• Mencegah lebih baik dari pada mengobati.
• Hindari infeksi nosokomial.

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC, 2004.
Carpenito, Lynda Jual, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC, 2000.
FKUI, Ilmu Kesehatan Anak.
Gulanick, Meg. Puzas, Knol Michele. Wilson, R. Cynthia, Nursing Care Plans for Newborns and Children : acute and critical care. USA : 1992.
Mansjoer, Arif, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius: FKUI, 2000.
Muscari E. Mary, Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC, 2005.
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta:. EGC, 1999.
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: EGC, 1999.
Wilkinson, M. Judith, Buku Saku Diagnosa Keperawatan NIC NOC edisi 7. Jakarta : EGC, 2006.
William, M. Scwartz, Pedoman Klinis Pediatrik. Jakarta: EGC, 2004.
Wong, L. Donna, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 1. Jakarta: EGC, 2009.
Copyright 2009 RYRI LUMOET. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy | Blogger Templates