RSS

PENGARUH PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN DISMENORE PRIMER


Sindrom pramenstruasi (PMS = Premenstrual Syndrome) atau premenstrual tension (PMT) adalah gabungan dari gejala-gejala fisik dan psikologis yang terjadi selama fase luteal siklus menstruasi dan menghilang setelah menstruasi dimulai (Sylvia A. Price, 2005). Banyak gadis merasa sakit ketika haid. Keluhan ini disebut dysmenorhoea dan biasanya baru timbul 2 atau 3 tahun sesudah menarche (Derek Llewelllyn-Jones, 2009).
Dismenore atau menstruasi yang menimbulkan nyeri merupakan masalah ginekologi yang paling umum dialami wanita dari berbagai tingkat usia. Dismenore adalah nyeri selama menstruasi yang disebabkan oleh kejang otot uterus. Gejalanya dimulai dari nyeri pada saat awitan menstruasi. Nyeri dapat tajam, tumpul, siklik, atau menetap, dapat berlangsung dalam beberapa jam sampai 1 hari.
Di Indonesia angka kejadian dismenore sebesar 64.25 % yang terdiri dari 54,89% dismenore primer dan 9,36 % dismenore sekunder (Info sehat, 2008). Diperkirakan wanita Amerika 1,7 juta hari kerja setiap bulan akibat dismenore. Frekuensi dismenore cukup tinggi hampir 90% wanita mengalami dismenore, 10 – 15% diantaranya mengalami dismenorea berat yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan kegiatan apapun dan ini menurunkan kualitas hidupnya (Jurnal Occupation And Environmental Medicine, 2008).
Dismenore cukup mengganggu seluruh aktifitas sehari-hari. Apabila keluhan-keluhan itu datang,ada beberapa cara untuk meredakan gejala-gejala dismenore. Pengobatan yang dapat dipakai adalah dengan menggunakan agen-agen anti inflamasi nonsteroid (NSAID) yang bekerja sebagai antiprostaglandin yang dapat meredakan nyeri. Akan tetapi penggunaan obat farmakologis menimbulkan efek samping dan tidak ada tindakan mandiri dari perawat.
Untuk beberapa wanita, panas (kompres panas atau mandi air panas), masase, distraksi, latihan fisik, dan tidur cukup untuk meredakan dismenore primer. Penggunaan kompres hangat diharapkan dapat meningkatkan relaksasi otot-otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan serta memberikan rasa hangat lokal. Pada umumnya panas cukup berguna untuk pengobatan. Panas meredakan iskemia dengan menurunkan kontraksi dan meningkatkan sirkulasi. Kompres hangat tidak akan melukai kulit karena terapi kompres hangat tidak dapat masuk jauh ke dalam jaringan. Apabila kompres hangat digunakan selama 1 jam atau lebih bisa menyebabkan kemerahan dan rasa perih (Potter, Perry, 2005).
Maka dari itu pemberian kompres hangat dilakukan secara periodik, dengan pemberian secara periodik dapat mengembalikan efek vasodilatiasi. Penggunaan kompres hangat pada perut bagian bawah saat nyeri menstruasi diharapkan dapat menurunkan intensitas nyeri. Dengan kompres hangat terjadi pelebaran pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan tekanan kapiler.

KOMUNIKASI TERAPEUTIK

1. Pengertian
Poter.dkk,1993, mendefinisikan Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan unuk kesembuhan pasien ( Uripni, 2003 ).
Komunikasi terapeutik merupakan bagian dari komunikasi yang interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien, dimana dalam proses komunikasi dapat memberikan pengertian tingkah laku pasien dan membantu pasien mengatasi persoalan yang dihadapi. (Purwanto, 1993). Dikatakan juga bahwa komunikasi terapeutik merupakan bentuk ketrampilan yang mendasar untuk melakukan wawancara dan penyuluhan serta sebagai media terapeutik.
Maka dari itu ketrampilan berkomunikasi secara terapeutik sangat perlu dimiliki oleh para perawat, guna membina hubungan yang terapeutik dalam membantu klien memecahkan masalahnya.

2. Manfaat Komunikasi Terapeutik
Uripni, 2003 juga menyebutkan bahwa dengan komunikasi terapeutik perawat mampu :
1. Mendorong dan menganjurkan kerjasama antar antara perawat dengan pasien melalui suatu hubungan yang terapeutik.
2. Mengidentifikasi, mengungkapkapkan perasaan dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan
3. Mencegah adanya tindakan yng negative terhadap pertahanan diri pasien (pada tahap preventif).

3. Tujuan Komunikasi terapeutik
Heri Purwanto menyebutkan tujuan komunikasi terapeutik adalah :
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sediri.

Sedangkan tujuan terapeutiknya sendiri, menurut Stuart,etc (Hamid, 1996), diarahkan kepada pertumbuhan klien yang meliputi :
1) Realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri sendiri.
2) Identitas diri yang jelas dan rasa integritas diri yang tinggi.
3) Mampu membina hubungan interpersonal yang intim, saling tergantung.
4) Peningkatan fungsi dan kemampuan yang memuaskan serta mencapai tujuan personal yang jelas.

4. Unsur Komunikasi Terapeutik
Unsur-unsur dalam komunikasi terapeutik adalah :
1. Sumber komunikasi terapeutik yaitu pengirim dan penerima pesan. Prakarsa berkomunikasi dilakukan oleh sumber ini dimana sumber juga menerima pesan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam mengirim
2. Pesan yang disampaikan dengan menggunakan sandi-sandi baik yang berupa bahasa verbal maupun non verbal.
3. Penerima, sebagai orang yang menerima pesan dan membalas yang disampaikan oleh sumber, sehingga dapat diketahui mengerti tidaknya suatu pesan.
4. Lingkungan dan waktu komunikasi terapeutik berlangsung. Dalam hal ini meliputi saluran penyampaian dan penerimaan pesan serta lingkungan alamiah saat pesan disampaikan. Saluran penyampaian pesan melalui indra manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, pengecap dan perabaan.

5. Prinsip komunikasi terapeutik
Menurut Carl Roger, Prinsip dari komunikasi terapeutik (Purwanto, 1993 ) adalah:
1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.
2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai.
3. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien.
4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.
5. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.
6. Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustasi.
7. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
8. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukanlah tindakan yang terapeutik.
9. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.
10. Mampu berperan sebagai role mode agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual dan gaya hidup.
11. Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu.
12. Altruisme mendapat kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi.
13. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prisip kesejahteraan manusia.
14. Bertanggung jawab dalam dua dimensi, yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan bertanggung jawab terhadap orang lain.

6. Karakteristik komunikasi terapeutik
Ada tiga hal yang mendasar yang memberikan karakteristik komunikasi terapeutik menurut Arwani, 2002 yaitu :
1. Keiklasan ( Genuineness )
Dalam rangka membantu klien, perawat harus menyadari tentang nilai, sikap, dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Apa yang perawat pikirkan dan rasakan tentang individu dan dengan siapa dia berinteraksi selalu dikomunikasikan pada individu, baik secara verbal maupun nonverbal. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunya terhadap pasien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikannya secara tepat. Perawat tidak akan menolak segala bentuk perasaan negatif yang dipunyai klien, bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien. Hasilnya, perawat akan mampu mengeluarkan segala perasaan yang dimiliki dengan cara yang tepat, bukan dengan cara menyalahkan atau menghukum klien.
Tidak selalu mudah melakukan suatu keikhlasan. Untuk menjadi lebih percaya diri tentang perasaan dan nilai-nilai yang dimiliki membentuk pengembangan diri yang dapat dipertimbangkan dilakukan setiap saat. Sehingga, sekali perawat mampu untuk menyatakan apa yang dia inginkan untuk membantu memulihkan kondisi pasien dengan cara yang tidak mengancam, pada saat itu pula kapasitas yang dimiliki untuk mencapai hubungan yang paling menguntungkan akan meningkat secara bermakna.

2. Empati
Empati merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan” perawat terhadap perasan yang dialami klien dan kemampuan merasakan “dunia pribadi pasien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitive, dan tidak dibuat-buat (obyektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan berfikir atau merasakan apa yang sedang dilakukan atau merasakan apa yang sedang dilakukan atau dirasakan oleh pasien. Karenanya, simpati lebih bersifat subyektif dengan melihat “dunia orang lain” untuk mencegah perspektif yang lebih jelas dari semua sisi yang ada tentang isu-isu yang sedang dialami seseorang.
Empati cenderung bergantung pada kesamaan pengalaman di antara orang yang terlibat komukasi. Perawat akan lebih mudah mengatasi nyeri pada pasien, misalnya, jika dia mempunyai pengalaman yang sama tentang nyeri. Karena hal ini sulit dilakukan, kecuali karena adanya keseragaman atau kesamaan pengalaman atau situasi yang relevan, perawat terkadang sulit untuk berperilaku empati pada semua situasi. Namun demikian, empati bisa dikatakan sebagai “kunci” sukses dalam berkomunikasi dan ikut memberikan dukungan tentang apa yang sedang dirasakan klien.
Sebagai “perawat empati”, perawat harus berusaha keras untuk mengetahui secara pasti apa yang sedang dipikirkan dan dialami klien. Pada kondisi seperti ini, empati dapat diekspresikan melalui berbagai cara yang dapat dipakai ketika dibutuhkan, mengatakan sesuatu tentang apa yang perawat pikirkan tentang klien, dan memperlihatkan kesadaran tentang apa yang saat ini sedang dialami pasien. Empati membolehkan perawat untuk berpartisipasi sejenak terhadap sesuatu yang terkait dengan emosi klien. Perawat yang berempati dengan orang lain dapat menghindari penilaian berdasarkan kata hati (implulsive judgement) tentang seseorang dan pada umunya dengan empati dia akan menjadi lebih sensitive dan ikhlas.

3. Kehangatan ( Warmth )
Hubungan yang paling membantu (helping relastionship) dibuat untuk memberikan kesempatan klien mengeluarkan “unek-unek” (perasaan dan nilai-nilai) secara bebas. Dengan kehangatan, perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif, dan tanpa adanya ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien. Sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam. Kondisi ini akan membuat perawat mempunyai kesempatan lebih luas untuk mengetahui kebutuhan klien. Kehangatan juga dapat dikomunikasikan secara nonverbal. Penampilan yang tenang, meyakinkan, dan pegangan tangan atau kasih sayang perawat terhadap pasien.

7. Tahap – tahap Komunikasi Terapeutik
Tahap – tahap komunikasi terapeutik dalam hubungan perawat – pasien terdiri dari 4 tahap yaitu tahap pra interaksi, tahap orientasi, tahap kerja ( lanjutan) dan tahap terminasi ( perpisahan ).
1) Pra Interaksi
Menggali perasaan, Menganalisa kemampuan dan keterbatasan professional diri sendiri, Mengumpulkan data pasien ( dari status ), Merencanakan pertemuan dengan pasien.
2) Orientasi
Pada fase ini perawat membentuk hubungan saling percaya dengan klien, dengan cara memperkenalkan diri, membuat persetujuan komunikasi, mengidentifikasi masalah, mengkaji tingkat kecemasan klien, mengkaji apa yang diharapkan pasien Dan tehnik komunikasi terapeutik yang digunkana biasanya adalah :
a. Open-Ended Question ( Pertanyaan Terbuka ) yaitu pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban “ya” dan “mungkin” tetapi pertanyaan memerlukan jawaban yang luas, sehingga pasien dapat mengemukakan masalahnya, perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang diperlukan.
b. Eksplorasi
Menggali lebih dalam ide-ide, pengalaman, masalah pasien yang perlu diketahui. Banyak pasien yang berbicara hanya hal-hal yang ringan-ringan saja, sepertinya pasien sedang menguji apakah perawat cukup tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Atau mungkin juga pasien menganggap bahwa pengalaman masa lalu seakan-akan tidak penting
“ Selamat pagi bapak / Ibu…”
“Nama saya Sinungkara, perawat kamar operasi yang akan menemani anak bapak / ibu saat dilakukan tindakan operasi nanti..?
“Bagaimana kabarnya ?”
“ Bagaimana ceritanya sehingga anak bapak / ibu harus dilakukan tindakan operasi ?
“Bagaimana perasaan bapak / ibu ?”
“Apa yang Bapak / ibu rasakan saat kecemasan muncul ?

c. Fase kerja
Pada fase ini beberapa hal yang dilakukan adalah :
Meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan dan menggunakan tehnik-tehik komunikasi terapeutik sebagai cara pemecahan dan dalam mengembangkan hubungan kerjasama. Selain itu juga meningkatkan faktor fungsional komunikasi terapeutik melalui pengkajian dilanjutkan kembali serta mengevaluasi masalah yang timbul, meningkatkan komunikasi pasien dan mengurangi ketergantungan terhadap perawat dan mempertahankan tujuan yang telah disepakatidan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada.
Tehnik Komunikasi Terapeutik yang dapat dipergunakan antara lain :
a. Mendengarkan dengan aktif.
Proses aktif dari penerimaan informasi dan penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima. di sini yang dilakukan adalah dengan tetap mempertahankan kontak mata dan komunikasi non verbal yang resertif, karena dapat menunjukkan minat dan penerimaan perawat terhadap klien.
b. Pembukaan yang luas
Memberikan dorongan pada klien untuk memilih topik yang akan dibicarakan. Hal ini dapat menunjukkan penerimaan perawat akan nilai dan inisiatif pasien. Pada penggunaan tehnik ini sebaiknya dihindarkan pertanyaan dengan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’.
“Apa yang sedang anda pikirkan ?”atau adakah sesuatu yang mengganjal dalam hati bapak/ibu, atau adakah informasi yang kurang jelas ? bisakah diceritakan pada saya, saya akan berusaha membantu bapak/ ibu sebisa saya….”
c. Pengulangan pernyataan
Perawat mengulang sebagian pertanyaan pasien dengan menggunakan kata-katanya sendiri, yang menunjukkan bahwa perawat mendengar dan memperhatikan apa yang dikemukakan klien, menguatkan dan mengembalikan perhatian klien pada sesuatu yang telah diucapkan klien.
O.. jadi maksud bapak / ibu, apa operasi ini bisa ditunda ? “
d. Refleksi
Mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan dan isi pembicaraan kepada klien. ini dapat memvalidasi pengertian perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat dan rasa hormat terhapadap klien.
“Bagaimana menurut bapak dan ibu setelah mendapat informasi dari dokter kemarin, apakah operasi merupakan jalan yang terbaik ?”
e. Klarifikasi
Berupaya untuk menjelaskan ke dalam kata-kata atau idea tau pikiran klien yang tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan artinya, agar tidak terjadi salah pengertian. Misalnya :
“ Apakah maksudnya bapak/ibu kuatir jika kami tidak memperhatikan dan menjaga dengan baik saat anak ibu dioperasi ? “
f. Pemusatan
Perawat membantu pasien untuk memfokuskan pembicaraan agar lebih spesifik dan terarah. Biasanya tehnik ini diperlukan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang suatu masalah.
”Barangkali bapak/ ibu mau menjelaskan apa yang bapak alami, sehingga anak bapak tidak boleh dioperasi dan dirawat di rumah sakit atau ada kendala lain ? ”
g. Berbagi persepsi
Perawat mengungkapkan persepsinya tentang pasien dan meminta umpan balik dari pasien. ini dapat menyampaikan pengertian perawat dan mempunyi kemampuan untuk meluruskan kerancuan.
Misalnya :
“Ibu tersenyum, tapi saya merasakan bahwa ibu sedang bingung dan cemas……”
h. Diam
Dengan mengurangi komunikasi verbal dan memberikan waktu kepada pasien untuk berpikir dan menghayati, dan mendorong pasien untuk mengawali percakapan, sementara itu perawat menyampaikan dukungan, penertian dan penerimaannya. Ini merupakan media terapeutik yang sangat berharga karena dapat memotivasi pasien untuk bicara, mengarahkan pikirannya kepada masalah yang dihadapi. Memberi waktu kepada pasien dalam menimbang alternative tindakan yang perlu dilakukan dan memberi kesempatan untuk merasakan bahwa dirinya diterima seutuhnya, meskipun pasien tetap berdiam diri atau merasa malu, tetapi pasien merasa dirinya berharga dan diterima.
Namun Diam dapat mendorong atau menghambat komunikasi sehingga perawat harus hati-hati dalam mengemukakan tehnik ini. Bagi pasien diam bisa diartikan sebagai dorongan dan penerimaan. Misalnya : duduk diam beberapa saat.
i. Memberikan informasi
Memberikan informasi kepada pasien mengenai hal-hal yang tidak/belum diketahuinya untuk membina hubungan saling percaya dengan pasien sehingga menambah pengetahuan pasien yang akan berguna baginya untuk mengambil keputusan secara realistik. Informasi yang diberikan antara lain tentang apa yang dimaksud dengan operasi, apa tujuan dari operasi, apa itu pembiusan, apa tujuan dari pembiusan, apa dampak dari operasi dan apa dampak dari pembiusan, bagaimana persiapan yang perlu dilakukan saat akan dilakukan operasi.
j. Memberikan saran
Memberikan tehnik komunikasi yang baik bila digunakan pada waktu yang tepat dan cara yang konstruktif, sehingga pasien bisa memilih.
“Setelah mendengar informasi tentang berbagi hal tentang penyakit anak bapak/ ibu, juga tentang operasinya, apa tidak lebih baik jika anak bapak / ibu harus menjalani operasi, supaya mendapatkan kesehatan dan kesembuhan yang optimal?”
d. Fase terminasi
Merupakan fase pembuatan kesimpulan pengobatan yang didapatkan,dan mengantisipasi masalah yang timbul karena kemungkinan klien akan tergantung dengan perawat.
“ Baiklah, setelah kita berbincang-bincang.. bagaimana perasaan bapak/ibu? apakah sudah lebih baik ? “
“Nah sekarang silahkan mengambil keputusan untuk persetujuan operasi. Karena ini sangat penting untuk kesehatan dan kesembuhan anak bapak/ibu. Semoga bapak/ibu mengambil keputusan yang terbaik. Bila nanti keputusannya sudah ada, bapak/ ibu bisa menemui saya atau perawat jaga. Terimakasih. Selamat siang dan sampai ketemu di kamar operasi ”

8. Hubungan terapeutik perawat dan klien
Adalah hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar menukar prilaku, perasaan , pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik ( Stuard dan Sundeen,1991 ). Oleh karena itu, karateristik yang perlu dimiliki perawat adalah :
1. Sadar akan dirinya : Perawat mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Ia dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
2. Analisa perasaan sendiri : Perawat perlu terbuka dan sadar terhadap perasaannya serta mengontrol agar Ia dapat menggunakan secara terapeutik.
3. Klarifikasi Nilai : Hubungan perawat - klien merupakan hubungan timbal balik, tetapi kebutuhan klien merupakan fokus utama. perawat perlu menyadarai nilai-nilai yang dimiliki, misalnya kepercayaan , ikatan keluarga, aspek seksual agar tidak merugikan klien.
4. Contoh peran ( role model ): Perawat dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan kehidupan pribadi, tidak didominasi oleh konflik,stress yang maladaptif, memperlihatkan adaptasi yang sehat, bertanggung jawab terhadap prilakunya, berperan sebagai contoh bagi klien.

Dengan memiliki karakteristik diatas diharapkan perawat dapat mengembangkan sikap terapeutik yang mendukung dan menolong klien.
Sikap atau respon perawat yang perlu dikembangkan dalam berhubungan dengan klien adalah :
Ikhlas : dinyatakan melalui keterbukaan. kejujuran, ketulusan, tidak pura-pura dan spontan memberi respon. Dengan sikap ini klien percaya bahwa perawat dapat membantu memecahkan masalahnya.
Menghargai : Menerima klien apa adanya dan percaya klien dapat menyelesaikan masalahnya. Perawat tidak menghakimi, mengejek atau menghina.
Empati : mengerti dan menerima kehidupan, pikiran dan perasaan klien secara akurat.
Segera : Tanggap terhadap perasaan klien dan ingin segera membantu.
Konfrontasi : adalah ekspresi perasaan perawat terhadap prilaku klien yang tidak sesuai.
Kongkrit : Komunikasi yang jelas, spesifik, mudah dimengerti.
Keterbukaan : terbuka tentang dirinya.

ASKEP GADAR KOMA HIPOGLIKEMIA

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipoglikemia adalah kadar glukosa puasa yang lebih rendah dari 70 mg/dl.
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl.
Hipoglikemia dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan dan latihan jasmani serta obat yang digunakan. Pengobatan terbaik hipoglikemia adalah mencegah terjadinya hipoglikemia.

2.2 Etiologi
 Etiologi hipoglikemi pada diabetes melitus (DM)
1. Hipoglikemi pada DM stadium dini.
2. Hipoglikemi dalam rangka pengobatan.
a. Penggunaan insulin.
b. Penggunaan sulfonilurea.
c. Bayi yang lahir dari ibu berkaitan dengan DM
3. Hipoglikemi yang tidak berkaitan dengan DM.
a. Hiperinsulinisme alimenter pascagastrektoni.
b. Insulinoma
c. Tumor ekstrapankreatik : fibsosorkoma, karsinoma ginjal.
d. Hipopituitarisme.


2.3 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya hipoglikemi pada pasien yang mendapat pengobatan insulin atau sulfonilurea.
1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pasien.
- Pengurangan/keterlambatan makan.
- Kesalahan dosis akut.
- Perubahan tempat suntikan insulin.
- Penurunan kebutuhan insulin.
• Penyembuhan dari penyakit.
• Nefropati diabetik
• Hipotiroidisma.
• Penyakit addison.
• Hipopiturtarisme.
- Hari-hari pertama persalinan.
- Penyakit hati berat.
- Gastroparesis diabetik.
2. Faktor- faktor yang berkaitan dengan dokter.
- Pengendalian glukosa darah yang ketat.
- Pemberian obat-obat yang mempunyai potensi hipoglikemik.
- Penggantian jenis insulin.

2.4 Patofisiologi
Ketergantungan otak setiap saat pada glukosa yang disuplai oleh sirkulasi diakibatkan oleh ketidakmampuan otak untuk membakar asam lemak berantai panjang, kurangnya simpanan glukosa sebagai glikogen di dalam otak orang dewasa, dan ketidaktersediaan keton dalam fase makan atau kondisi posabsorptif.
Terdapat sedikit perdebatan tentang manakala gula darah turun dengan tiba-tiba, otak mengenali defisiensi energinya setelah kadar serum turun jauh dibawah sekitar 45 mg/dl. Kadar dimana gejala-gejala timbul akan berbeda dari satu pasien dengan pasien lain, dan bukanlah hal yang tidak lazim pada kadar serendah 30 sampai 35 mg/dl untuk terjadi (spt, selama tes toleransi glukosa) tanpa gejala-gejala yang telah disebutkan.
Yang lebih kontroversial adalah pertanyaan tentang apakah gejala-gejala dapat berkembang dalam berespon terhadap turunnya kadar gula darah bahkan sebelum turun di bawah batasan kadar normal. Karena suatu respon fisiologi tertentu, seperti pelepasan hormon pertumbuhan, terjadi dengan penurunan gula darah namun tetap normal, tampaknya gejala-gejala terjadi pada kondisi ini, tetapi stimulus penurunan kadar kemungkinan kurang kuat dan konsisten dibanding penurunan dibawah ambang absolut. Bagaimanapun, otak tampak dapat beradaptasi sebagian terhadap penurunan kadar gula darah, terutama jika penurunan terjadi lambat dan kronis. Bukanlah hal yang tidak lazim bagi pasien dengan gula darah yang sangat rendah, seperti yang terjadi pada tumor pensekresi insulin, untuk memperlihatkan fungsi serebral yang sangat normal dalam menghadapi gula darah yang rendah terus menerus dibawah batasan normal.

2.5 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma).
Gejala-gejala hipoglikemia juga terdiri dari dua fase, yaitu :
1. Fase 1, gejala-gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga hormon epinefrin dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu pasien masih sadar sehingga dapat diambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.
2. Fase 2, gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, karena itu dinamakan gejala neurologis.
Hipoglikemi terjadi karena adanya kelebihan insulin dalam darah sehingga menyebabkan rendahnya kadar gula dalam darah. Kadar gula darah yang dapat menimbulkan gejala-gejala hipoglikemi, bervariasi antara satu dengan yang lain.
Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi jugamenyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Hipoglikemia yang lebih berat menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan menyebabkan pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, perilaku yang tidak biasa, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan koma. Hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Gejala yang menyerupai kecemasan maupun gangguan fungsi otak bisa terjadi secara perlahan maupun secara tiba-tiba. Hal ini paling sering terjadi pada orang yang memakai insulin atau obat hipoglikemik per-oral. Pada penderita tumor pankreas penghasil insulin, gejalanya terjadi pada pagi hari setelah puasa semalaman, terutama jika cadangan gula darah habis karena melakukan olah raga sebelum sarapan pagi. Pada mulanya hanya terjadi serangan hipoglikemia sewaktu-waktu, tetapi lama-lama serangan lebih sering terjadi dan lebih berat.

2.6 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan glukosa darah sebelum dan sesudah suntikan dekstrosa.

2.7 Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit). Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung lama serta tidak mungkin untuk memasukkan gula melalui mulut penderita, maka diberikan glukosa intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius. Seseorang yang memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya selalu membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Tumor penghasil insulin harus diangkat melalui pembedahan. Sebelum pembedahan, diberikan obat untuk menghambat pelepasan insulin oleh tumor (misalnya diazoksid). Bukan penderita diabetes yang sering mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan hipoglikemia dengan sering makan dalam porsi kecil.


BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Riwayat
• Sakit kepala
• Gangguan penglihatan
• Palpitasi
• Mual dan mutah
• Kelemahan
• Peningkatan tekanan darah
• Kejang
• Koma

2. Hasil Pemeriksaan Diagnostik
• Prosedur khusus: untuk hipoglikemia reaktif tes toleransi glukosa postpradial oral 5 jam menunjukkan glukosa serum <50 mg/dl setelah 5 jam.
• Pengawasan di tempat tidur: peningkatan tekanan darah.
• Pemeriksaan laboratorium: glukosa serum <50 mg/dl, spesimen urin dua kali negatif terhadap glukosa.
• EKG: Takikardia.

3. Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi: Pucat, diaforesis, Kulit lembab dan dingin, gemetar, peningkatan pernafasan dangkal.
• Palpasi: Piloreksi, kelemahan motorik.
• Auskultasi:
Gastrointestinal: peningkatan bising usus.
Kardiovaskuler: Takikardia.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko komplikasi b/d kadar glukosa plasma yang rendah seperti, gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma hipoglikemi
2. Perubahan sensori perseptual b/d ketidakseimbangan glukosa
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d penurunan masukan oral
4. Kelelahan b/d penurunan energi metabolik

3.3 Intervensi
1. Resiko komplikasi b/d kadar glukosa plasma yang rendah seperti, gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma hipoglikemi.
 Cek serum glukosa sebelum dan setelah makan
 Monitor : kadar glukosa, pucat, keringat dingin, kulit yang lembab
 Monitor vital sign
 Monitor kesadaran
 Monitor tanda gugup, irritabilitas
 Lakukan pemberian susu manis peroral 20 cc X 12
 Analisis kondisi lingkungan yang berpotensi menimbulkan hipoglikemi.
 Cek BB setiap hari
 Cek tanda-tanda infeksi
 Hindari terjadinya hipotermi
 Lakukan kolaborasi pemberian Dex 15 % IV
 Lakukan kolaborasi pemberian O2 1 lt – 2 lt /menit

2. Diagnosa keperawataan: Defisit volume cairan b/d kehilangan gastrik berlebihan.
Kriteria hasil:
 Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan ortostatik. Hipoglikemia dapat dimanifestasikan oleh takikardia
Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa. Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat.
Ukur berat badan setiap hari. Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti
Catat hal-hal yang sering di laporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung. Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung, yang seringkali akan menimbulkan muntah dan secara potensial akan menimbulkan kekurangan cairan dan elektrolit.
Kolaborasi
Berikan terapi cairan sesuai dengan indikasi, normal salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dekstrosa. Mengembalikan cairan yang adekuat.

3. Diagnosa Keperawatan : Perubahan sensori perseptual b/d ketidakseimbangan glukosa.
Kriteria Hasil :
 Mempertahankan tingkat mental biasanya.
 Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau tanda-tanda vital dan status mental. Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi mental.
Panggil pasien dengan nam, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya, misalnya terhadap tempat, orang, dan waktu. Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas.
Lindungi pasien dari cedera (gunakan pengikat) ketika tingkat kesadaran pasien terganggu. Berikan bantalan lunak pada pagar tempat tidur dan berikan jalan nafas buatan yang lunak jika pasien kemungkinan mengalami kejang. Pasien mengalami disorientasi merupakan awal kemungkinan timbulnya cedera, terutama amalam hari dan perlu pencegahan sesuai indikasi.
Berikan tempat tidur yang lembut. Pelihara kehangatan kaki/tangan, hindari terpajan terhadap air panas atau dingin atau penggunaan bantalan atau pemanas. Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan kerusakan kulit karena panas.
Kolaborasi
Pantau nilai laboratorium, glukosa darah. Keseimbangan nilai laboratorium ini dapat menurunkan fungsi mental.

4. Diagnosa Keperawatan : Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d penurunan masukan oral
Kriteria Hasil :
 Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat.
 Menunjukkan tingkat energi biasanya.
 Mendemonstrasikan berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya/yang diinginkan dengan nilai laboratorium normal.
Intervensi Rasional
Mandiri
Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi. Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorpsi dan utilitisnya).
Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien. Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan melalui oral. Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika paien sdar dan fungsi gastrointestinalnya baik.
Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan ini sesuai dengan indikasi. Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien.
Kolaborasi
Konsultasi dengan ahli diet. Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.

5. Diagnosa Keperawatan : Kelelahan b/d penurunan energi metabolik
Kriteria Hasil :
 Mengungkapkan peningkatkan energi.
 Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi Rasional
Mandiri
Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktifitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas. Mengidentifikasi tingkat aktifitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi. Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.

3.4 Implementasi
 Memperbaiki status cairan
 Mempertahankan nutrisi yang adekuat
 Mengurangi kelelahan
 Mengurangi rasa cemas atau takut
 Memberi pengetahuan

3.5 Evaluasi
 Keseimbangan cairan membaik
 Kelelahan berkurang dan tidak merasa lelah
 Nutrisi yang adekuat dan dapat mempertahankan berat badan dan dapat memilih makanan, jumlah, dan distribusi makanan yang cocok.
 Rasa takut atau cemas berkurang
 Memperoleh pengetahuan yang cukup


BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl. Tanda dan gejala hipoglikemia terdiri dari Fase I,gejala –gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga hormon epinefrin di lepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karna saat itu pasien masih sadar sehingga dapat di ambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.Fase II, gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak , karena itu dinamakan gejala neurologis.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jakarta : Media Aesculapius.
Carpenito Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakata : EGC.
Emedicine Journal, Emergency medicine.
http://doctorsjournals.wordpress.com/
Hudak, M. Carolyn. 1996. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

REPRODUCTIVE HEALTH

A. Background
All living things reproduce. Reproduction — the process by which organisms make more organisms like themselves — is one of the things that set living things apart from nonliving matter. But even though the reproductive system is essential to keeping a species alive, unlike other body systems, it's not essential to keeping an individual alive.
In the human reproductive process, two kinds of sex cells, or gametes (pronounced: gah-meetz), are involved. The male gamete, or sperm, and the female gamete, the egg or ovum, meet in the female's reproductive system to create a new individual. Both the male and female reproductive systems are essential for reproduction. The female needs a male to fertilize her egg, even though it is she who carries offspring through pregnancy and childbirth.
Humans, like other organisms, pass certain characteristics of themselves to the next generation through their genes, the special carriers of human traits. The genes that parents pass along to their children are what make children similar to others in their family, but they are also what make each child unique. These genes come from the father's sperm and the mother's egg, which are produced by the male and female reproductive systems.

B. What Is the Female Reproductive System?
Most species have two sexes: male and female. Each sex has its own unique reproductive system. They are different in shape and structure, but both are specifically designed to produce, nourish, and transport either the egg or sperm.
Unlike the male, the human female has a reproductive system located entirely in the pelvis (that's the lowest part of the abdomen). The external part of the female reproductive organs is called the vulva, which means covering. Located between the legs, the vulva covers the opening to the vagina and other reproductive organs located inside the body.
The fleshy area located just above the top of the vaginal opening is called the mons pubis (pronounced: manz pyoo-bis). Two pairs of skin flaps called the labia (which means lips and is pronounced: lay-bee-uh) surround the vaginal opening. The clitoris (pronounced: klih-tuh-rus), a small sensory organ, is located toward the front of the vulva where the folds of the labia join. Between the labia are openings to the urethra (the canal that carries urine from the bladder to the outside of the body, which is pronounced: yoo-ree-thruh) and vagina. Once girls become sexually mature, the outer labia and the mons pubis are covered by pubic hair.
A female's internal reproductive organs are the vagina, uterus, fallopian tubes, and ovaries.
The vagina is a muscular, hollow tube that extends from the vaginal opening to the uterus. The vagina is about 3 to 5 inches (8 to 12 centimeters) long in a grown woman. Because it has muscular walls it can expand and contract. This ability to become wider or narrower allows the vagina to accommodate something as slim as a tampon and as wide as a baby. The vagina's muscular walls are lined with mucous membranes, which keep it protected and moist. The vagina has several functions: for sexual intercourse, as the pathway that a baby takes out of a woman's body during childbirth, and as the route for the menstrual blood (the period) to leave the body from the uterus.
A thin sheet of tissue with one or more holes in it called the hymen partially covers the opening of the vagina. Hymens are often different from person to person. Most women find their hymens have stretched or torn after their first sexual experience, and the hymen may bleed a little (this usually causes little, if any, pain). Some women who have had sex don't have much of a change in their hymens, though.
The vagina connects with the uterus, or womb, at the cervix. The cervix has strong, thick walls. The opening of the cervix is very small (no wider than a straw), which is why a tampon can never get lost inside a girl's body. During childbirth, the cervix can expand to allow a baby to pass.
The uterus is shaped like an upside-down pear, with a thick lining and muscular walls — in fact, the uterus contains some of the strongest muscles in the female body. These muscles are able to expand and contract to accommodate a growing fetus and then help push the baby out during labor. When a woman isn't pregnant, the uterus is only about 3 inches (7.5 centimeters) long and 2 inches (5 centimeters) wide.
At the upper corners of the uterus, the fallopian (pronounced: fuh-lo-pee-un) tubes connect the uterus to the ovaries (pronounced: o-vuh-reez). The ovaries are two oval-shaped organs that lie to the upper right and left of the uterus. They produce, store, and release eggs into the fallopian tubes in the process called ovulation (pronounced: av-yoo-lay-shun). Each ovary measures about 1½ to 2 inches (4 to 5 centimeters) in a grown woman.
There are two fallopian tubes, each attached to a side of the uterus. The fallopian tubes are about 4 inches (10 centimeters) long and about as wide as a piece of spaghetti. Within each tube is a tiny passageway no wider than a sewing needle. At the other end of each fallopian tube is a fringed area that looks like a funnel. This fringed area wraps around the ovary but doesn't completely attach to it. When an egg pops out of an ovary, it enters the fallopian tube. Once the egg is in the fallopian tube, tiny hairs in the tube's lining help push it down the narrow passageway toward the uterus.
The ovaries are also part of the endocrine system because they produce female sex hormones such as estrogen (pronounced: es-truh-jun) and progesterone (pronounced: pro-jes-tuh-rone).
C. What Does the Female Reproductive System Do?
The female reproductive system enables a woman to:
• produce eggs (ova)
• have sexual intercourse
• protect and nourish the fertilized egg until it is fully developed
• give birth
Sexual reproduction couldn't happen without the sexual organs called the gonads. Although most people think of the gonads as the male testicles, both sexes actually have gonads: In females the gonads are the ovaries. The female gonads produce female gametes (eggs); the male gonads produce male gametes (sperm). After an egg is fertilized by the sperm, the fertilized egg is called the zygote (pronounced: zi-gote).
When a baby girl is born, her ovaries contain hundreds of thousands of eggs, which remain inactive until puberty begins. At puberty, the pituitary gland, located in the central part of the brain, starts making hormones that stimulate the ovaries to produce female sex hormones, including estrogen. The secretion of these hormones causes a girl to develop into a sexually mature woman.
D. Menstruation
Toward the end of puberty, girls begin to release eggs as part of a monthly period called the menstrual cycle. Approximately once a month, during ovulation, an ovary sends a tiny egg into one of the fallopian tubes. Unless the egg is fertilized by a sperm while in the fallopian tube, the egg dries up and leaves the body about 2 weeks later through the uterus. This process is called menstruation (pronounced: men-strew-ay-shun). Blood and tissues from the inner lining of the uterus combine to form the menstrual flow, which in most girls lasts from 3 to 5 days. A girl's first period is called menarche (pronounced: meh-nar-kee).
It's common for women and girls to experience some discomfort in the days leading to their periods. Premenstrual syndrome (PMS) includes both physical and emotional symptoms that many girls and women get right before their periods, such as acne, bloating, fatigue, backaches, sore breasts, headaches, constipation, diarrhea, food cravings, depression, irritability, or difficulty concentrating or handling stress. PMS is usually at its worst during the 7 days before a girl's period starts and disappears once it begins.
Many girls also experience abdominal cramps during the first few days of their periods. They are caused by prostaglandins, chemicals in the body that makes the smooth muscle in the uterus contract. These involuntary contractions can be either dull or sharp and intense.
It can take up to 2 years from menarche for a girl's body to develop a regular menstrual cycle. During that time, her body is adjusting to the hormones puberty brings. On average, the monthly cycle for an adult woman is 28 days, but the range is from 23 to 35 days.
E. Fertilization and Pregnancy
If a female and male have sex within several days of the female's ovulation (egg release), fertilization can occur. When the male ejaculates (which is when semen leaves a man's penis), between 0.05 and 0.2 fluid ounces (1.5 to 6.0 milliliters) of semen is deposited into the vagina. Between 75 and 900 million sperm are in this small amount of semen, and they "swim" up from the vagina through the cervix and uterus to meet the egg in the fallopian tube. It takes only one sperm to fertilize the egg.
About a week after the sperm fertilizes the egg, the fertilized egg (zygote) has become a multi-celled blastocyst (pronounced: blas-tuh-sist). A blastocyst is about the size of a pinhead, and it's a hollow ball of cells with fluid inside. The blastocyst burrows itself into the lining of the uterus, called the endometrium (pronounced: en-doh-mee-tree-um). The hormone estrogen causes the endometrium to become thick and rich with blood. Progesterone, another hormone released by the ovaries, keeps the endometrium thick with blood so that the blastocyst can attach to the uterus and absorb nutrients from it. This process is called implantation.
As cells from the blastocyst take in nourishment, another stage of development, the embryonic stage, begins. The inner cells form a flattened circular shape called the embryonic disk, which will develop into a baby. The outer cells become thin membranes that form around the baby. The cells multiply thousands of times and move to new positions to eventually become the embryo (pronounced: em-bree-o). After approximately 8 weeks, the embryo is about the size of an adult's thumb, but almost all of its parts — the brain and nerves, the heart and blood, the stomach and intestines, and the muscles and skin — have formed.
During the fetal stage, which lasts from 9 weeks after fertilization to birth, development continues as cells multiply, move, and change. The fetus (pronounced: fee-tus) floats in amniotic (pronounced: am-nee-ah-tik) fluid inside the amniotic sac. The fetus receives oxygen and nourishment from the mother's blood via the placenta (pronounced: pluh-sen-tuh), a disk-like structure that sticks to the inner lining of the uterus and connects to the fetus via the umbilical (pronounced: um-bih-lih-kul) cord. The amniotic fluid and membrane cushion the fetus against bumps and jolts to the mother's body.
Pregnancy lasts an average of 280 days — about 9 months. When the baby is ready for birth, its head presses on the cervix, which begins to relax and widen to get ready for the baby to pass into and through the vagina. The mucus that has formed a plug in the cervix loosens, and with amniotic fluid, comes out through the vagina when the mother's water breaks.
When the contractions of labor begin, the walls of the uterus contract as they are stimulated by the pituitary hormone oxytocin (pronounced: ahk-see-toh-sin). The contractions cause the cervix to widen and begin to open. After several hours of this widening, the cervix is dilated (opened) enough for the baby to come through. The baby is pushed out of the uterus, through the cervix, and along the birth canal. The baby's head usually comes first; the umbilical cord comes out with the baby and is cut after the baby is delivered.
The last stage of the birth process involves the delivery of the placenta, which is now called the afterbirth. After it has separated from the inner lining of the uterus, contractions of the uterus push it out, along with its membranes and fluids.

F. Things That Can Go Wrong With the Female Reproductive System
Girls and women may sometimes experience reproductive system problems. Below are some examples of disorders that affect the female reproductive system.

G. Things That Can Go Wrong With the Vulva and Vagina
• vulvovaginitis (pronounced: vul-vo-vah-juh-ni-tus), an inflammation of the vulva and vagina. It may be caused by irritating substances (such as laundry soaps or bubble baths). Poor personal hygiene (such as wiping from back to front after a bowel movement) may also cause this problem. Symptoms include redness and itching in the vaginal and vulvar areas and sometimes vaginal discharge. Vulvovaginitis can also be caused by an overgrowth of candida, a fungus normally present in the vagina.
• nonmenstrual vaginal bleeding, most commonly due to the presence of a vaginal foreign body, often wadded-up toilet paper. It may also be due to urethral prolapse, a condition in which the mucous membranes of the urethra protrude into the vagina and form a tiny, donut-shaped mass of tissue that bleeds easily. It can also be due to a straddle injury (such as when falling onto a beam or bicycle frame) or vaginal trauma from sexual abuse.
H. Things That Can Go Wrong With the Ovaries and Fallopian Tubes
• ectopic (pronounced: ek-tah-pik) pregnancy, when a fertilized egg, or zygote, doesn't travel into the uterus, but instead grows rapidly in the fallopian tube. Girls with this condition can develop severe abdominal pain and should see a doctor because surgery may be necessary.
• endometriosis (pronounced: en-doh-mee-tree-o-sus), when tissue normally found only in the uterus starts to grow outside the uterus — in the ovaries, fallopian tubes, or other parts of the pelvic cavity. It can cause abnormal bleeding, painful periods, and general pelvic pain.
• ovarian tumors, although rare, can occur. Girls with ovarian tumors may have abdominal pain and masses that can be felt in the abdomen. Surgery may be needed to remove the tumor.
• ovarian cysts, noncancerous sacs filled with fluid or semi-solid material. Although they are common and generally harmless, they can become a problem if they grow very large. Large cysts may push on surrounding organs, causing abdominal pain. In most cases, cysts will disappear on their own and treatment is unnecessary. If the cysts are painful, a doctor may prescribe birth control pills to alter their growth, or they may be removed by a surgeon.
• polycystic ovary syndrome, a hormone disorder in which too many male hormones (androgens) are produced by the ovaries. This condition causes the ovaries to become enlarged and develop many fluid-filled sacs, or cysts. It often first appears during the teen years. Depending on the type and severity of the condition, it may be treated with drugs to regulate hormone balance and menstruation.
I. Menstrual Problems
A variety of menstrual problems can affect girls. Some of the more common conditions are:
• dysmenorrhea (pronounced: dis-meh-nuh-ree-uh), when a girl has painful periods.
• menorrhagia (pronounced: meh-nuh-rah-zhuh), when a girl has a very heavy periods with excess bleeding.
• oligomenorrhea (pronounced: o-lih-go-meh-nuh-ree-uh), when a girl misses or has infrequent periods, even though she's been menstruating for a while and isn't pregnant.
• amenorrhea (pronounced: a-meh-nuh-ree-uh), when a girl hasn't started her period by the time she is 16 years old or 3 years after starting puberty, has not developed signs of puberty by age 14, or has had normal periods but has stopped menstruating for some reason other than pregnancy.

J. Infections of the Female Reproductive System
• Sexually transmitted infections. These include infections and diseases such as pelvic inflammatory disease (PID), human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS), human papilloma virus (HPV, or genital warts), syphilis, chlamydia, gonorrhea, and genital herpes. Most are spread from one person to another by sexual intercourse.
• Toxic shock syndrome. This uncommon illness is caused by toxins released into the body during a type of bacterial infection that is more likely to develop if a tampon is left in too long. It can produce high fever, diarrhea, vomiting, and shock.
If you think you have symptoms of a problem with your reproductive system or if you have questions about your growth and development, talk to your parent or doctor — many problems with the female reproductive system can be treated.
Copyright 2009 RYRI LUMOET. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy | Blogger Templates