BAB I
PENDAHULUAN
I.I LATAR BELAKANG
Kejang merupakan mal fungsi singkat pada system listrik otak dan menjadi karena cetusan atau pelepasan muatan neuron kortikal. Manifestasi kejang di tentukan oleh lokasi asal gangguan dan dapat meliputi keadaan tidak sadar atau perubahan kesadaran ; gerakan infolunter ;dan perubahan dalam persepsi, dan postur tubuh. Kejang merupakan difungsi neurologic yang paling sering terlihat pada anak – anak dan dapat terjadi dengan berbagai keadaan yang melibatkan SSP.
Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.Menurut Consensus Statement on Febrile Seizure (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. ( Mansjoer, 2000 : 434 )
Kejang demam merupakan kelainan neurolis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. ( Millichap, 1968).Kejang ( konvulsi ) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks cerebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran, aktifitas motorik dan atau gangguan fenomena sensori ( Doenges, 1993 : 259 )
I.2 TUJUAN
Umum : Untuk memenuhi tugas keperawatan anak
Khusus : mengetahui pengertian, etiologi, gejala klinis, patofisiologi serta memahami dan mampu menerapkan asuhan keperawatan yang tepat pada anak dengan kejang
I.3 RUMUSAN MASALAH
• Berdasarkan pada latar belakang di atas “ bagaimana cara penanganan pada anak dengan kejang demam?
• Apa definisi kejang demam?
• Apa etiologi kejang demam?
• Apa manifestasi klinis kejang demam?
• Bagaimana tentang penatalaksanaan kejang demam?
• Bagaimana patofisiologi dan PNP kejang demam?
• Bagaimana melakukan Asuhan keperawatan pada klien dengan kejang demam?
BAB II
KONSEP DASAR
II.I Pengertian
Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh( suhu rectal lebih dari 38°C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizure (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. ( Mansjoer, 2000 : 434 )
Kejang demam merupakan kelainan neurolis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. ( Millichap, 1968).
Kejang ( konvulsi ) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks cerebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran, aktifitas motorik dan atau gangguan fenomena sensori ( Doenges, 1993:259 ).
Livingston ( 1954, 1963 ) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan ; yaitu :
1. Kejang demam sederhana ( Simple Febrile Convultion )
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam ( Epilepsy Triggered off by Fever )
Di Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FKUI – RSCM Jakarta, kriteria Livingston tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosa kejang demam sederhana ialah :
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang, normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
II.2 ETIOLOGI
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang – kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan demam. (Mansjoer, 2000 : 434 ).
Gangguan kejang demam mempunyai berbagai penyebab yang beragam [ mis, tumor, infeksi, neoplasma ]. Sebagian besar gangguan bersifat idiopatik. Walaupun penyebab epilepsy idiopatik tidak di ketahui, factor – factor genetic dengan cara tertentu dapat mengubah ambang kejang sehingga mempengaruhi cetusan neuron. Gangguan kejang juga dapat merupakan gagguan yang di dapat akibat cedera otak pada masa prenatal, perinatal , atau pasca natal, cedera ini dapat disebabkan oleh tauma, hipoksia, infeksi, toksin eksogen atau endogen dan beberapa factor lain. Gangguan bio kimia [hipoglikemja, hipokalsemia, dan defisiensi nutrisi tertentu] dapat menimbulkan aktifitas kejang.
Aktivitas kejang dipercaya terjadi karena cetusan atau pelepasan muatan listrik yang sepontan. Kondisi ini di picu oleh sekelompok sel yang hipereksitabel, kelompok sel ini dinamakan focus epiletogenik. Sel –sel ini meningkatkan eksitabilitas perangsangan listrik sebagai reaksi terhadap stimulus fisiologik seperti dehidrasi selular, abnormalitas kadar glukosa darah, gangguan keseimbangan elektrolit, keletihan, stress emosional dan gangguan endokrin
II.3 PATOFISIOLOGI
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1° C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 % - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dalam waktu yang tingkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dari akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak yang menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40° C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
II.4 MANIFESTASI KLINIK
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8 % berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.
Kejang dapat diikuti hemiparisis sementara( hemiparises Todd ) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparises yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama ( Mansjoer, 2000 : 435).
II.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan cairan cerebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi- bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
Elektroensefalografi ( EEG ) ternyata kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang di kemudian hari. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumberi infeksi.
II.6 PENAKTALAKSANAAN
a. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres dingin dan pemberian antipiretik. Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrakranial.
b. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
c. Pengobatan Profilaksis.
1. Profilaksis Intermiten saat demam
Diberikan Diazepam secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intra rektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg bila BB <> 10 kg setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5°C.
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari.
Berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15 – 40 mg/kg BB/hari.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM
3.1 Pengkajian
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah :
a. Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
b. Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
c. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).
d. Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktifitas kejang.
e. Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
f. Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
g. Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Carpenito ( 1999 : 468 ):
a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.
c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.
d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan dan aktifitas kejang selama episode kejang.
3.3 Rencana Keperawatan
Menurut Carpenito ( 1999 ) , rencana keperawatannya meliputi :
a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pol tidak efektif berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
Tujuan;setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi relaksasi lidah sekunder
kriteria hasil ; tidak terjadi pernafasan kuping hidung, sianosis, dispnea, ronchi
Intervensi atau rasional
1) Baringkan klien di tempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasang tongue spatel.
2) Singkirkan benda – benda yang ada disekitar pasien, lepaskan pakaian yang mengganggu pernafasan ( misal : gurita ).
3) Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2 dan obat anti kejang
5) Anjurkan pasien untuk mengosongkan benda atau zat tertentu atau gigi palsu atau alat yang lain
6) Meningkatkan aliran atau drainase secret mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
7) Siapkan untuk melakukan intubasi jika ada indikasi
8) Berikan tambahan oksigen atau fentilasi manual sesuai kebutuhan sesuai fese post iktal.
b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.
Tujuan ; setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak dapat resiko cedera yang berhubungan dengan gerak tonik atau klonik
Kriteria hasil ; tidak terjai cedera pada periode kejang
Intervensi atau rasional ;
1) Jauhkan benda – benda yang ada disekitar klien.
2) Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang, menyumbat jalan nafas.
3) Awasi klien dalam waktu beberapa lama selama / setelah kejang.
4) Observasi tanda – tanda vital setelah kejang.
5) Kolaborasi dnegna dokter untuk pemberian obat anti kejang.
6) Pantau sel darah atau elektrolit
c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan;setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi peningkatan suhu atau hipertermi
Kriteria hasil; tidak terjadi shock, dehidrasi
Intervensi :
1) Observasi tanda vital tiap 4 jam atau lebih.
2) Kaji saat timbulnya demam.
3) Berikan penjelasan pada keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan.
4) Anjurkan pada keluarga untuk memberikan masukan cairan 1,5 liter / 24 jam.
5) Beri kompres dingin terutama bagian frontal dan axila.
6) Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan dan obat antipiretik.
7) Pantau volume cairan atau elektrolit
d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan, aktifitas, kejang selama perawatan.
Tujuan ; setelah dilakukan tindakan keperawatan keluarga mampu mengetahui penatalaksanaan program terapeutik
Kriteria hasil; tidak terjadi komplikasi atau infeksi penyakit baru
Intervensi :
1) Jelaskan pada keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan aktifitas selama kejang.
2) Jelaskan pada keluarga tentang faktor – faktor yang menjadi pencetus timbulnya kejang, misal : peningkatan suhu tubuh.
3) Jelaskan pada keluarga, apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama walaupun diberikan obat, segera bawa klien ke rumah sakit terdekat.
4) Diskusi antar perawat dengan keluarga
5) Diskusi perawat , keluarga, paramedis lain
3.4 Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan klien dengan kejang demam adalah mencegah / mengendalikan aktifitas kejang, melindungi klien dari cedera, mempertahankan jalan nafas dan pemahaman keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan aktifitas selama kejang.
BAB IV
PENUTUP
4.I KESIMPULAN
Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 38°C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizure (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. ( Mansjoer, 2000 : 434 )
Kejang demam merupakan kelainan neurolis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. ( Millichap,1968).Kejang (konvulsi ) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks cerebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran, aktifitas motorik dan atau gangguan fenomena sensori ( Doenges, 1993:259).
DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI, 1985. Jilid 2
Donna L. wong, Keperatan Pediatric, EGC, edisi 4
Donna L, wong, Marilyn hockenbery-eaton ,david Wilson, Marilyn L. winkelstein, patricia schwartz
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar